Rabu, 23 Januari 2013
akhwat sejati ^-^kekasih Allah: keep my heart^-^akhi,,,
akhwat sejati ^-^kekasih Allah: keep my heart^-^akhi,,,: Bismillah,,,, malam ne,,,,terasa sepi,,,,ya Rabb,,,, ada apa sebenarnya,,,,dihatiku,,,,, rasa ini yang belum sepantasnya diluapkan...
keep my heart^-^akhi,,,
Bismillah,,,,
malam ne,,,,terasa sepi,,,,ya Rabb,,,,
ada apa sebenarnya,,,,dihatiku,,,,,
rasa ini yang belum sepantasnya diluapkan,,,,,
harus menunggu waktu yang tepat,tapi sangat berat rasanya,,,
ketika akhwat jatuh cinta,,,,
semuanya,,,menjadi serba berbeda,,,,
sebenarnya hati ini sangat menyanyanginya,,,,
namun,,,loem saatnya,,,,
ukhti,,,,
terkadang jiwa ini merasa hampa dan gelisah ketika jauh darinya,,,
ya Rabb,,,,,
ana salah menempatkan rasa ini,,,,
loem waktunya,,,,
menunggu,,,,
iya ,menunggu saat itu tiba,,,,
mungkin itu yang terbaik yang harus aku lakukan saat ini,,,
keep my heart ya akhi,,,,,
hingga waktunya tiba
kamar bawah,,,,
asrama putri almanar,,,,
malam kamis januari '13
Selasa, 22 Januari 2013
akhwat sejati: tarekat modern
akhwat sejati: tarekat modern: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Zaman sekarang disebut zaman modern, ditandai dengan kemakmuran material, kemajuan...
akhwat sejati: Mengenang Syeikh Abdurrauf As-Singkili
akhwat sejati: Mengenang Syeikh Abdurrauf As-Singkili: Jurnal: Menjelajah Pemikiran Tasauf Syathariyah Syeikh Abdurrauf Singkel Oleh Sari Masyita Abstrak : Abdurrauf Singkel merupak...
Mengenang Syeikh Abdurrauf As-Singkili
Jurnal:
Menjelajah Pemikiran Tasauf Syathariyah
Syeikh Abdurrauf Singkel
Oleh
Sari Masyita
Abstrak
: Abdurrauf Singkel merupakan tokoh pemikir dan ulama terkemuka, ia telah melahirkan karya-karya sastra yang merupakan
kekayaan intelektual muslim Indonesia yang berharga. Karya-karya sastra yang
berbentuk suluk dari para pemikir dan ulama Islam terdahulu sampai saat ini,
naskah aslinya yang berupa manuskrip atau tulisan tangan asli masih bisa
dilihat pada perpustakaan-perpustakaan perguruan tinggi di negeri Belanda.
Abdurrauf Singkel dikenal oleh masyarakat luas di sumatera. Ia mengungkapkan
wujud yang hakiki hanya Allah., sedangkan alam ciptaanNya adalah bukti
keberadaan Tuhan dan kekuasaanNya. Abdurrauf Al-Singkili merupakan salah satu
ulama aceh yang pertama sekali mengembangkan paham tariqat Syathariah di
Indonesia. Banyak sekali murid-muridnya tidak hanya dari Aceh melainkan dari
berbagai daerah di tanah air. Saat itu Aceh sedang menjadi tempat persinggahan para jemaah
haji yang hendak berangkat ke Mekkah. Ketika singgah di Aceh inilah tidak
sedikit jamaah haji yang kemudian belajar agama dan tasauf. Di antara
murid-muridnya yang menjadi ulama terkenal adalah Syekh Burhanuddin Ulakan.
A.
Pendahuluan
Abdurrauf al-Singkili merupakan seorang ulama besar dan juga termasuk
ke dalam salah satu dari seratus tokoh Islam yang paling berpengaruh di
Indonesia. Beliau merupakan keturunan Arab. Dan beliau merupakan tokoh tasawuf
dari Aceh yang pertama sekali mengembankan paham tariqat Syathariah di
Indonesia.
Tidak hanya di Aceh melainkan dari berbagai daerah di Indonesia
murid-muridnya berasal. Ajarannya juga berkembang di pulau Jawa. Simuh(1960:9) mencatat
bahwa penyebaran Tariqat Syathariah di jawa dikembangkan oleh muridnya
Abdulmuhyi(Pamijahan) yang dikeramatkan di daerah Priangan. Dari daerah ini
Tariqat Syathariah kemudian berkembang subur di Cirebon yang menjadi pusat
kesultanan. Di Cirebon pula kemudian lahir karya-karya dalam bentuk serat suluk
yang isinya mengandung ajaran tasawuf wujudiyah atau martabat tujuh. Dari pengaruh
Cirebon ini kemudian lahir pujangga-pujangga Surakarta mengubah karya Serat
Suluk yang kaya akan ajaran etika dan tasawuf.[1]
Abdurrauf begitu lama menuntut ilmu di Arab, kemudian ketika beliau
kembali ke Aceh, Beliau diberi kepercayaan oleh ratu untuk memegang jabatan
sebagai Qadhi Malik al-Adil atau mufti kerajaan Aceh. Jabatan mufti yang
dipegangAbdurrauf memberikan kesempatan baginya untuk mengekspresikan pemikiran
dari pemahaman keagamaannya. Peluang menyampaikan fikiran-fikiran itu ia mulai
dari tulisan, antara lain kitabnya yang dikenal luas sampai sekarang mulai dari
kitab fiqih sampai tasawuf.
Kewibawaan Abdurrauf sebagai mufti juga menjadi modal baginya untuk
meredam konflik paham keagamaan antara paham wujudiyah dengan syuhudiyah.
Pendekatan yang digunakan Abdurrauf adalah mendamaikan antara paham-paham yang
bertentangan itu, hal itu sejalan dengan kecendrungan jaringan ulama abad 17
dan 18 yang berupaya saling mendekatkan antara ulama yang berorientasi pada
syariat dan para sufi. Kenyataan konflik antar dua kelompok cendikiawan muslim
ini berkurang dan saling mendekat sebagaimana yang diajarkan al-Qushasi dan
al-Ghazali. Diskursus rekonsiliasi syariah dan tasawuf yang dikembangkan oleh
Abdurrauf Singkel dapat diamati dari tiga pilar pemikirannya dalam bidang
tasawuf, yang kemudian secara signifikan menjadi tema utama pula dalam
pemikiran murid-murid di belakangnya, termasuk di dalamnya Syeikh Burhanuddin
Ulakan. Ketiga pokok pikiran tersebut adalah Ketuhanan dan hubungan dengan alam,
Insan Kamil dan jalan Menuju Tuhan(Tariqat).[2]
B.
Biografi
dan Hasil Karya Abdurrauf Al-Singkili
Abdurrauf, lahir di Aceh tahun,1024 H/1615 M .Nama aslinya adalah
Aminuddin Abdurrauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri al-Singkili. Ia lahir di sebuah
kota kecil di pantai barat pulau Sumatera. Ayahnya berasal dari keluarga ulama.
Ayahnya Syeikh Ali Al-Fansuri adalah seorang Arab yang mengawini seorang wanita
setempat dari fansur(Barus)dan bertempat tinggal di Singkel. Ali Hasyimi (1984)
mengemukakan merujuk kitab yang memuat silsilah dari riwayat hidup Syeikh
Abdurrauf Singkel bahwa ia adalah anak pertama dari pada Syekh Al-Fansuri.
Abdurrauf lahir sesudah tiga tahun sultan Sayyid al-Mukammil menaiki tahta.
Abdurrauf berangkat ke Timur Tenggah untuk belajar agama, ia cukup
lama belajar di Arab yaitu selama 19 tahun. Ia mengunjungi pusat-pusat
pendidikan dan pengajaran Islam di sepanjang perjalanan haji antara Yaman dan
Mekkah. Kemudian ia bermukim di Mekkah untuk memperdalam ajaran agama seperti
al-qur’an dan hadis, fiqih dan tafsir dan secara khusus mempelajari tasawuf.
Bersama dengan kawannya Syeikh Abdullah Arief yang lebih dikenal dengan Syeikh
Madinah atau disebut juga dengan Tuanku Madinah di Tapakis, Pariaman. Ia
belajar tariqat pada Syeikh Ahmad Qushasi. Abdurrauf menceritakan tentang
riwayat hidupnya dan guru-gurunya di akhir bukunya Umdatul Muhtajin. Dijelaskan
pula bahwa dia sangat memuji gurunya Ahmad Qushasi, sebgai pembimbing spritual
dan guru di jalan Allah. Dia kemudian memperoleh ijazah dari guru tersebut, sehingga
berhak untuk mengajarkan tariqat Syathariah kepada murid-muridnya. Syathariah
adalah sebuah aliran tariqat yang muncul pertama sekali di India pada abad 15,
nama tariqat ini dinisbatkan pada tokoh pertama yang mempopulerkannya yaitu
Abdullah asy-Syatar. Tariqat ini bertujuan untuk membangkitkan kesadaran
terhadap Allah SWT dalam batin manusia. Hal itu bisa dicapai melalui pengamalan
beberapa macam zikir.
Tariqat Syatariah ini sangat besar pengaruhnya di dunia Islam
termasuk di Indonesia. Menurut Aan Marie Scimmel yang sangat otoriatif dalam
mengkaji sufisme, setelah membaca penafsiran sufistik Abdurrauf dalam karyanya
Daqaid al-huruf, Scimmel menyimpulkan, sebagaimana diutarakan Azyumardi Azra
bahwa Abdurrauf sangat sophisticated dalam menjelaskan dan menginterpretasikan
wihdatul wujud dalam kerangka syariah. Barangkali ada benarnya bila kemudian
paham tawasuf Syathariah disebut dengan wihdatus suhul., melihat kemudahan
konsepnya.
Abdurrauf Singkel kembali ke Aceh sekitar tahun 1662 M,dan
setibanya di kampungnya segera mengajarkan dan mengembangkan Tariqat Syathariah
di Indonesia. Abdurrauf dinilai sebagai tokoh yang cukup berperan dalam
mewarnai sejarah tasawuf Islam di Indonesia pada abad k 17. Pada sekitar tahun
1643, saat kesultanan Aceh dipimpin oleh sultanah(ratu) Safituddin Tajul Alam
(1641-1675),karena kedudukannya itu sering disebut dengan Syeikh Kuala di Aceh
saat menjadi mufti tersebut, dengan dukungan dari pihak kerajaan, ia berhasil
menghapus ajaran Salik Buta, tariqat yang sudah ada sebelumnya dalam masyarakat
Aceh.
Abdurrauf memiliki sekitar 21 karya tertulis yang terdiri dari 1
kitab tafsir, 2 kitab hadis, 3 kitab fiqh dan kitab-kitab tasawuf. Kitab
tafsirnya yang berjudul Turjuman al-Mustafid(Terjemahan pemberi faedah)
merupakan kitab tafsir pertama yang dihasilkan di Indonesia yang berbahasa
Melayu. Sedangkan kitab fiqh yang ditulisnya atas permintaan Sultanah
Safiatuddin yang memuat tentang fiqh mazhab Syafi’I sebagai panduan bagi para
kadi, ia menulis Miraat at-Tullab fi Tashil Marifatul Ahkam as-syariyyah li
malik al-Wahhab(Cermin bagi Penuntut Ilmu Fiqh, untuk memudahkan mengenal
segala hukum Syarak Allah), buku ini merupakan buku karangannya yang terkenal,
yang disadurnya dari kitab Fathul Wahhab.[3]
Dalam bidang tafsir ia menulis Tarjuman al-Mustafid,tafsir pertama dalam bahasa
Melayu. Dalam bidang tasawuf ia menulis Bayan al-Tajali(keterangan tentang
Tajali),Kifayatul Muhtajin(Pencukup Para Pengemban Hayat), Daqaid
al-Huruf(Detail-detail Huruf) dan Umdah al-Muhtajin(Tiang orang-orang yang
memerlukan). Buku ini terdiri dari tujuh bab, yang memuat tentang zikir,
sifat-sifat Allah dan Rasulnya dan asal-usul ajaran mistik dalam Islam. Tiga
kitab terakhir menjadi rujukan utama dalam kajian tariqat Syathariah yang
disadur oleh syeikh Burhanuddin Ulakan kemudian diwariskan secara turun-temurun
sampai sekarang masih dalam bentuk manuskrip.
C.
Pemikiran
Abdurrauf Al-Singkili
Syathariah sebagai sebuah aliran tasawuf, dalam perkembangannya di
Indonesia menghadapi dua kutub aliran tasawuf yang berbeda sebagai warisan dari
ulama terdahulu Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani dan Nuruddin ar-Raniri.
Dalam kondisi semacam itu, aliran tasawuf Syathariah menjadi penyejuk bagi
perbedaan tajam antara aliran wujudiyyah dan aliran syuhudiyah.
Adapun pokok-pokok pemikiran tasawuf Abdurrauf adalah yang pertama
berupa Ketuhanan dan hubungannya dengan alam. Dalam memahami hakekat keberadaan
Tuhan, Abdurrauf, menganut paham bahwa satu-satunya wujud hakiki adanya Allah.
Alam ciptaanNya adalah wujud bayangannya
yakni bayangan dari wujud hakiki. Walaupun wujud hakiki(Tuhan) berbeda dengan
wujud bayangan (alam) namun terdapat kesamaan antara kedua wujud tersebut.
Tuhan melakukan tajalli (penampakan diri dalam bentuk alam). Sifat-sifat Tuhan
secara tidak lansung tampak pada manusia. Abdurrauf Singkel dikenal oleh
masyarakat luas di Sumatera. Ia mengungkapkan wujud yang hakiki hanya Allah, sedangkan
alam ciptaanNya adalah bukti keberadaan Tuhan dan kekuasaanNya.Pada alam yang
tampak realitas ini Tuhan menampakkan diriNya(Tajllai)secara tidak lansung.
Pada manusia, sifat-sifat Tuhan secara lansung menampakkan diri begitu
sempurna, dan ralatif yang paling sempurna(Insan Kamil0. Sedangkan bagaimana
hubungan Tuhan dengan alam adalah ketransedennya Abdurrauf menjelaskan. Sebelum
Tuhan menciptakan alam raya(al-alam). Dia selalu memikirkan (bertaakul) tentang
dirinya. Yang mengakibatkan terciptanya Nur Muhammad dari Nur Muhammad itu
Tuhan menciptakan pola-pola dasar(al-ayan ast-Tsabitah),yaitu potensi dari
semua alam raya ,yang menjadi sumber dari pola dasar luar(al-ayan Kharijiyyah)
yaitu ciptaan dalam bentuk konkritnya.
Abdurrauf yang sering disebut dengan al-Singkili juga menyimpulkan
meskipun al-Ayan al-Kharijiyah merupakan emanasi wujud mutlak, mereka adalah
berbeda dari Tuhan itu sendiri. Hubungan keduanya seperti tangan dan bayangan
.Meskipun tangan tidak dapat dipisahkan dari bayangannya, yang terakhir itu
tidak sama dengan yang pertama . Sedangkan untuk mendapatkan hubungan lansung
dengan Tuhan, orang mesti melalui Kasyf. Akal manusia tidak mungkin bisa
memahami Tuhan. Maka Kasyf adalah satu-satunya pintu yang bisa dicapai dengan
memurnikan tauhid melalui pengajian tariqat syathariah dan mengamalkan zikir
serta ibadah dengan kaifiyat sendiri(Azyumardi Azra)
Pemikiran di atas memberikan kesimpulan pada kita bahwa Abdurrauf
adalah tokoh penghubung antara paham wujudiyah mulhid, yang diwakili oleh
Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani, dan faham syuhudiyah yang diwakili
oleh Nuruddin ar-Raniri. Duski Samad(2001:46)menyebutnya merupakan sintesa dari
mistiko-filosofis Ibnu Arabi dan al-Ghazali yang memusatkan perhatian pada
upaya pencapaian ma’rifah mengenai Allah secara lansung tanpa hijab melalui
pensucian hati dan pengahayatan makna ibadah.
Kedua, Insan Kamil adalah sosok manusia ideal. Dalam wacana tasawuf
konsep insan kamil lebih mengacu kepada hakikat makhluk dan hubungannya dengan
khaliq(Tuhannya). Dalam literature tasawuf hakikat manusia dan hubungannya
dengan Tuhan dapat dikelompokkan kepada dua bentuk pemikiran,yaitu konsep yang
diperkenalkan al-Hallaj, menurutnya manusia adalah penampakan cinta Tuhan yang
azali kepada esensiNya yang tak mungkin disifatkan itu. Oleh karenya Adam
diciptakan Tuhan dalam bentuk rupaNya, mencerminkan segala sifat dan nama-namaNya
sehingga ia adalah Dia dan konsep inilah
yang dikemas oleh Abdul Karim al-Jilli(826/1422)dalam sebuah karyanya yang
berjudul al-insan al-kamil fi al awail wal-akhir.
Ketiga, Jalan kepada Tuhan(Tariqat).Kecendrungan rekonsiliasi
syariat dan tasawuf dalam pemikiran al-Singkili sangat kentara sekali ketia ia
menjelaskan pemanduan tauhid dan dzikir. Tauhid itu memiliki empat
martabat,yaitu tauhidul uluhiyyah, tauhidus sifat,tauhid Zat dan Tauhid Afaal.
Begitu halnya dengan zikir. Zikir diperlukan sebagai jalan untuk
menuntun intuisi (Kasyf) guna bertemu dengan Tuhan. Zikir itu dimaksudkan untuk
mendapatkan al-mawat al-ikhtiyari (kematian sukarela) atau disebut juga
kematian ideasional. Syeikh Abdurrauf menuliskan syarat-syarat yang mesti
dilalui sebelum memasuki zikir agar ma’rifah segera didapatkan antara lain:
1.
Sebelum
zikir harus taubat dari kemaksiatan
2.
Mandi
dan berwudhuk
3.
Menggunakan
pakaian bersih dan harum-haruman
4.
Membubuhkan
haruman pada tempat zikir
5.
Memilih
tempat gelap untuk tempat zikir
6.
Bersila
dan Menghadap kiblat
7.
Meletakkan
kedua telapak tangan di atas dua paha
8.
Memejamkan
mata dalam zikir
9.
Merupakan
wajah Syekih (Rabitah)dalam zikir minta bantuan Syeikh dengan hati mulia
10.
Mengiktikadkan
minta tolong pada nabi Muhammad
11.
Selalu
menetapkan hati pada Allah
12.
Iklas
mengahadap Allah
13.
Menyebut
la ilaha illaallah dengan takzim dengan menarik kepala dari lambung kiri dibawa
ke kanan tempatnya hati
14.
Mengahdirkan
makna zikir.La Mabuda
15.
Menafikan
selain Allah
16.
Selalu
bermujahadah dan biriyadhah(sunguh-sungguh dalam ibadah)
Penekanan pada zikir untuk mendapatkan ma’rifah ini diulas panjang
di dalam kitabnya Umdah al-Muhtajin.
D.
Kesimpulan
Syeikh Abdurrauf al-Singkili merupakan salah satu ulama aceh yang
sangat terkenal dan merupakan tokoh tasawuf yang dikenal membawa aliran tariqat
Syathariah di seluruh Indonesia.[4] Beliau
merupakan keturunan Arab, Syathariah adalah sebuah aliran tariqat yang muncul
pertama sekali di India pada abad 15, nama tariqat ini dinisbatkan pada tokoh
pertama yang mempopulerkannya yaitu Abdullah asy-Syatar. Tariqat ini bertujuan
untuk membangkitkan kesadaran terhadap Allah SWT dalam batin manusia. Hal itu
bisa dicapai melalui pengamalan beberapa macam zikir. Adapun Ketiga pokok
pikiran Syeikh Abdurrauf adalah
Ketuhanan dan hubungan dengan alam, Insan Kamil dan jalan Menuju
Tuhan(Tariqat).
E.
Daftar
Pustaka
Shalahuddin Hamid,100 Tokoh Islam
Paling Berpengaruh di Indonesia,Cet I(Jakarta:Intimedia Ciptanusantara)2003
Tim Penulis IAIN Ar-Raniry,Ensiklopedi Pemikiran Ulama Aceh(Banda
Aceh:Ar-Raniry Press)2005
Hawash Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasauf dan Tokoh-Tokohnya Di
Nusantara(Surabaya:Usana Offset Printing)
[1]
Shalahuddin
Hamid,100 Tokoh Islam Paling Berpengaruh di Indonesia,Cet
I(Jakarta:Intimedia Ciptanusantara) hlm 56
[2]
Shalahuddin
Hamid,100 Tokoh Islam Paling………hlm 57
[3]
Tim Penulis
IAIN Ar-Raniry,Ensiklopedi Pemikiran Ulama Aceh(Banda Aceh:Ar-Raniry
Press)
[4] Hawash Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasauf dan Tokoh-Tokohnya Di
Nusantara(Surabaya:Usana Offset Printing)hlm 49
akhwat sejati: Quraish Shihab dan Pemikirannya tentang ayat-ayat ...
akhwat sejati: Quraish Shihab dan Pemikirannya tentang ayat-ayat ...: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Prof.Dr. Quraish Shihab,MA merupakan salah satu mufassir di Indonesia yang sangat terkenal...
Quraish Shihab dan Pemikirannya tentang ayat-ayat Hijab
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Prof.Dr. Quraish Shihab,MA merupakan salah satu mufassir di
Indonesia yang sangat terkenal dengan berbagai hasil karyanya seperti “Tafsir
Al-Misbah” dan buku-bukunya yang lain seperti “wawasan Al-Qur’an,Lentera Hati
dan Membumikan Al-Qur’an serta ada beberapa buku-buku yang lainnya.
Terdapat banyak cara yang ditempuh
oleh pakar Al-Qur’an dalam menafsirkan ayat-ayat Allah, ada yang menyajikannya
sesuai urutan ayat-ayat sebagaimana termaktub dalam surat Al-Fatihah hingga ayat
terakhir , kemudian beralih ke ayat pertama sutar kedua(Al-baqarah) hingga
berakhir pula, dan demikian seterusnya. Ada juga yang memilih topik tertentu
kemudian menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan topik tersebut, dimanapun
ayat itu ia temukan.
Berbicara tentang Quraish Shihab, beliau menafsirkan Al-Qur’an
dengan mengunakan metode maudhui(tematik). Menerapkan metode Maudhu’i
memerlukan keahlian akademis, karena itu kehati-hatian dan ketekunan sangat
diperlukan.
Di dalam makalah ini penulis ingin memaparkan tentang pemikiran
Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat-ayat
hijab yang disinyalir banyak kalangan
amat kontroversial. Oleh karena itu sekiranya kita harus mengetahui latar
belakang Quraish shihab dan caranya dalam menafsirkan ayat-ayat tentang hijab
yang menimbulkan terjadinya perbedaan pemahaman denga beberapa mufassir
lainnya.
B.
Rumusan
Masalah
Penulis merumuskan masalah
yang akan dibahas dalam makalah ini ke dalam dua poin besar,yaitu:
a.
Bagaimana biografi Quraish shihab!
b.
Bagaimana
deskripsi M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah tentang batas
aurat wanita!
c.
Gagasan dan Pemikiran Pendidikan Menurut
Quraish Shihab!
C.
Metode
Pembahasan
Penulis menegaskan bahwa penelitian yang
penulis lakukan tentang batas aurat wanita dalam menurut pemikiran Quraish
shihab merupakan penelitian kepustakaan (library research), dengan
menggunakan metode analisis deskriptif (descriptive analysis), dan
analisis eksplanatori (explanatory analysis), dengan pendekatan
historis.
Kami melihat bahwa penulis tesis belum mampu
menggunakan metode analisis eksplanatori secara maksimal dalam penulisannya,
sehingga lebih cenderung hanya sebatas deskripsi teks saja, dan kurang mendalam
pembahasannya.
Metode analisis eksplanatori adalah suatu
analisis yang berfungsi memberi penjelasan yang lebih mendalam daripada sekedar
mendeskripsikan makna sebuah teks. Sedangkan metode
analisis deskriptif adalah pemaparan apa adanya terhadap apa yang dimaksud oleh
suatu teks dengan cara memparafrasekan dengan bahasa peneliti.
D.
Tujuan
Pembahasan
Adapun tujuan pembahasan dari makalah ini adalah untuk mengenal
biografi Quraish Shihab secara detail,dan untuk mengetahui pemikirannya tentang
menafsirkan ayat-ayat tentang hijab dan juga pemikirannya tentang pendidikan
yang berlandaskan Al-Qur’an.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Biografi
Singkat Quraish shihab
Nama
lengkapnya adalah Muhammad Quraish Shihab. Ia lahir tanggal 16 Februari 1944 di
Rapang, Sulawesi Selatan. Ia berasal dari keluarga keturunan Arab yang
terpelajar. Quraish Shihab adalah putra Prof. KH Abdurrahman Shihab, seorang
ulama dan guru besar di bidang tafsir.
kecintaan terhadap bidang studi tafsir karena ayahnya yang sering
mengajak anaknya duduk bersama. Pada saat seperti inilah sang ayah menyampaikan
nasihat yang kebanyakan berupa ayat Al-Qur’an.[1]
Sebagai
putra dari seorang guru besar, Quraish
Shihab mendapatkan motivasi
awal dan benih kecintaan terhadap bidang studi tafsir dari ayahnya yang
sering mengajak anak-anaknya duduk bersama. Pada saat-saat seperti inilah sang
ayah menyampaikan nasihatnya yang kebanyakan berupa ayat-ayat al-Qur’an.
Quraish kecil telah menjalani pergumulan dan kecintaan terhadap al-Qur’an sejak
umur 6-7 tahun. Ia harus mengikuti pengajian al-Qur’an yang diadakan oleh
ayahnya sendiri. Selain menyuruh membaca al-Qur’an, ayahnya juga menguraikan
secara sepintas kisah-kisah dalam al-Qur’an. Di sinilah, benih-benih
kecintaannya kepada al-Qur’an mulai tumbuh.
Pendidikan
formalnya dimulai dari sekolah dasar di Ujungpandang. Setelah
menyelesaikan pendidikan dasarnya di Ujung Pandang, dia melanjutkan pendidikan
menengahnya di Malang, sambil “nyantri” di pondok pesantren Darul hadis
Al-Fiqihiyyah.
Pada tahun 1958, dia berangkat ke Kairo, Mesir,
dan diterima di kelas II Tsanawiyyah Al-Azhar. Pada tahun 1967, dia meraih
gelar Lc (SI) pada fakultas Ushuluddin jurusan Tafsir Hadis Universitas
Al-Azhar. Kemudian dia melanjutkan pendidikannya di fakultas yang sama pada
tahun 1969 meraih gelar MA untuk spesialisasi bidang tafsir al-Qur’an dengan
tesis yang berjudul Al-I’jaz Al-Tasyri’iy Al-Qur’an Al-Karim. [2]
Sekembalinya
ke Ujung Pandang, Quraish Shihab dipercayakan untuk menjabat Wakil Rektor
bidang Akademis dan Kemahasiswaan pada IAIN Alauddin, Ujung Pandang. Selain
itu, dia juga diserahi jabatan-jabatan lain, baik di dalam kampus seperti
Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Wilayah VII Indonesia Bagian Timur),
maupun di luar kampus seperti Pembantu Pimpinan Kepolisian Indonesia Timur
dalam bidang pembinaan mental.
Selama di Ujung Pandang ini, dia juga sempat
melakukan berbagai penelitian; antara lain, penelitian dengan tema
"Penerapan Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia Timur" (1975) dan
"Masalah Wakaf Sulawesi Selatan" (1978).
Pada tahun 1980, Quraish Shihab kembali ke
Kairo melanjutkan pendidikannya di almamaternya yang lama, Universitas
Al-Azhar. Pada tahun 1982, dengan Disertasi berjudul Nazhm Al-Durar Li
Al-Biqa’I, Tahqiq wa Dirasah, dia berhasil meraih gelar Doktor dalam ilmu-ilmu
al-Qur’an dengan yudisium Summa Cum Laude disertai penghargaan tingkat I
(Mumtaz Ma’a Martabat Al-Syaraf Al-‘Ula).[3]
Sekembalinya
ke Indonesia, sejak 1984, Quraish Shihab ditugaskan di Fakultas Ushuluddin dan
Fakultas Pasca-Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Selain itu, di luar
kampus, dia juga dipercayakan untuk menduduki berbagai jabatan. Antara lain:
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat (sejak 1984); Anggota Lajnah
Pentashih Al-Quran Departemen Agama (sejak 1989); Anggota Badan Pertimbangan
Pendidikan Nasional (sejak 1989), dan Ketua Lembaga Pengembangan.
Dia
juga banyak terlibat dalam beberapa organisasi profesional; antara lain:
Pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu Syari'ah; Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu Agama
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; dan Asisten Ketua Umum Ikatan Cendekiawan
Muslim Indonesia (ICMI).
Disela-sela
kesibukannya itu,dia juga terlibat di dalam berbagai kegiatan ilmiah didalam
maupun luar negeri.
Selain
itu Quraish Shihab juga aktif dalam kegiatan tulis-menulis. Di surat kabar
Pelita pada setiap hari rabu dia menulis dalam rubric “Pelita Hati”. Dia juga
mengasuh rubrik Amanah dengan tafsinya yaitu “Tafsir Al-Amanah” dalam majalah
dua mingguan yang terbit di Jakarta.[4]
Selain
itu dia juga tercatat sebagai anggota Dewan Redaksi majalah Uluimul Qur’an dan
Mimbar Ulama, keduanya terbit di Jakarta, Selain kontribusinya untuk berbagai
buku suntungan dan jurnal-jurnal ilmiah, hingga kini sudah tiga bukunya
diterbitkan , yaitu Tafsir Al-Mannar, Keistimewaan dan Kelemahannya ( Ujung
Pandang : IAIN Alauddin, 1987) ; dan Mahkota Tuntunan Ilahi(Tafsir surat
Al-fatihah ) (Jakarta: Untagama , 1988).
Dari
seluruh karya tulis Quraish Shihab yang dianalisis Kusmana ditemukan kesimpulan
bahwa secara umum karakteristik pemikiran keislaman Quraish Shihab adalah
bersifat rasional dan moderat. Sifat rasional pemikirannya diabdikan tidak
untuk, misalnya, memaksakan agama mengikuti kehendak realitas kontemporer,
tetapi lebih mencoba memberikan penjelasan atau signifikansi khazanah agama
klasik bagi masyarakat kontemporer atau mengapresiasi kemungkinan pemahaman dan
penafsiran baru tetapi dengan sangat menjaga kebaikan tradisi lama.
Beliau
juga terkenal sebagai penulis yang sangat produktif lebih dari 20 buku telah
lahir di tangannya. Diantaranya yang paling legendaries adalah”membumikan
Al-Qur’an,Lentera Hati,Wawasan Al-Qur’an, dan Tafsir Al-Misbah.sosoknya juga
sering tampil di berbagai media untuk memberikan siraman ruhani dan
intelektual.[5]
Berdasarkan
uraian tersebut di atas kita dapat mengatakan bahwa Muhammad Quraish Shihab
adalah sarjana Muslim Kontemporer Indonesia yang berhasil tidak hanya dalam
karier keilmuwannya, tetapi juga dalam karier social kemasyarakatannya,
terutama dalam bidang pemerintahan.
B.
Pemikiran
Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat-ayat tentang hijab
1.
Pandangan
Ulama Mutaqaddimin dalam menafsirkan ayat-ayat tentang hijab
Islam
adalah agama universal yang memiliki makna menampakkan ketundukan dan melaksanakan syariah serta menetapi apa saja
yang datang dari Rasulullah. Semakna dengan hal ini, Allah juga memerintahkan
umat Islam agar masuk ke dalam Islam secara keseluruhan. Yakni, memerintahkan
kaum muslimin untuk mengamalkan syariat Islam dan cabang-cabang iman yang
begitu banyak jumlah dan ragamnya. Pun mengamalkan apa saja yang diperintahkan
danmeninggalkanseluruhyangdilarangsemaksimal
Namun, dewasa ini banyak nilai-nilai Islam yang ditinggalkan oleh kaum muslimin. Salah satunya adalah dalam masalah jilbab. Hal ini tampak dari banyaknya kaum muslimah yang tidak mempraktikkan syariat ini dalam keseharian mereka. Akibatnya, mereka kehilangan identitas diri sebagai muslimah sehingga sulit dibedakan mana yang muslimah dan non-muslimah.
Fenomena tersebut bisa disebabkan oleh ketidaktahuan, keraguan, ataupun terbelenggu dalam hawa nafsu. Didalam makalah ini penulis akan memaparkan tentang pemikiran Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat-ayat hijab.
Namun, dewasa ini banyak nilai-nilai Islam yang ditinggalkan oleh kaum muslimin. Salah satunya adalah dalam masalah jilbab. Hal ini tampak dari banyaknya kaum muslimah yang tidak mempraktikkan syariat ini dalam keseharian mereka. Akibatnya, mereka kehilangan identitas diri sebagai muslimah sehingga sulit dibedakan mana yang muslimah dan non-muslimah.
Fenomena tersebut bisa disebabkan oleh ketidaktahuan, keraguan, ataupun terbelenggu dalam hawa nafsu. Didalam makalah ini penulis akan memaparkan tentang pemikiran Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat-ayat hijab.
Menyusuri
wanita-wanita muslim, pada awal islam di madinah, memakai pakaian yang sama
dalam garis besar bentuknya dengan pakaian-pakaian oleh wanita-wanita pada
umumunya. Ini termasuk wanita-wanita tunasusila atau hamba sahaya. [6]
Mereka
secara umum memakai baju dan kerudung bahkan jilbab tetapi leher mereka mudah
terlihat. Dan tidak jarang yang melilitkan jilbab mereka ke belakang .Keadaan
semacam itu digunakan oleh orang munafik untuk menganggu wanita-wanita dan
termasuk wanita mukminah .Dan ketika mereka di tegur menyangkut gangguannya
terhadap mukminah mereka berkata;”kami kira mereka adalah hamba sahaya “.
Ini
disebabkan karena ketika itu identitas mereka sebagai wanita mukminah tidak
terlihat dengan jelas. Oleh karena hal inilah turunlah surat Al-Ahzab:59 yang
berbunyi:
“Hai
Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan
isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke
seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang”.[7]
Jilbab
adalah baju kurung yang longgar yang harus dilengkapi dengan kerudung penutup
kepala. Kemudian juga di turunkan ayat yang memperjelas lagi cara menutup aurat
yang benar yaitu surat An-Nur : 31 yang berbunyi:
“
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya,
kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain
kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami
mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka,
atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau
putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan
mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau
pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau
anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka
memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan
bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya
kamu beruntung.”[8]
Larangan
menampakkan hiasan yang dikecualikan dalam ayat di atas menyita perhatian
beberapa ulama tafsir. Mereka menyatakan bahwa hiasan adalah segala sesuatu
yang memperelok , baik pakaian ,emas dan semacamnya.
Pakar
tafsir al-qurthubi dalam tafsirnya mengemukakan bahwa Ulama besar Said bin
Jubair ,Atha dan Al-Auzaiy berpendapat bahwa yang boleh dilihat hanyalah wajah
wanita,kedua telapak tangan dan busana yang di pakainya.
Syaikh
Muhammad Ali as Sais ,Guru Besar , Universitas Al-Azhar Mesir ,mengemukakan
dalam tafsirnya yang menjadi buku wajib pada Fakultas Syariah al-Azhar , bahwa
abu Hanifah mengajukan bahwa alasan ini lebih menyulitkan dibanding dengan
tangan, khususnya bagi wanita-wanita miskin di pendesaan yang ketika itu sering
kali berjalan tanpa alas kaki untuk memenuhi kebutuhan mereka .
Para
pakar abu Yusuf bahkan berpendapat bahwa kedua tangan wanita bukan aurat,
karena dia menilai bahwa mewajibkan untuk menutupnya menyulitkan wanita.
2. Pendapat
Ulama Kontemporer tentang Jilbab
Berbeda
dengan Quraish Shihab yang mengemukakan pendapat yang berbeda dalam menafsirkan
ayat-ayat tentang hijab. Quraish Shihab juga berpendapat bahwa Al-Quran tidak
menentukan secara tegas dan rinci tentang batas-batas aurat, sehingga hal itu
dianggap sebagai masalah khilafiyah.[9]
Tafsir Quraish Shihab tentang
ayat-ayat hijab banyak dipengaruhi oleh pemikiran Muhammad Thahir bin Asyur dan
Muhammad Said Al-Asymawi, dua tokoh berpikiran liberal asal Tunis dan Mesir,
yang berpendapat bahwa jilbab adalah produk budaya Arab.Muhammad Thahir bin
Asyur seorang ulama Besar Tunis yang juga di akui otoritasnya dalam bidang ilmu
agama , menulis dalam Maqashid Al-Syariah sebagai berikut yang artinya:
“Kami percaya bahwa adat
kebiasaan satu kaum tidak boleh dalam kedudukannya sebagai adat untuk di
paksakan terhadap kaum lain atas nama agama, bahka tidak dapat dipaksakan pula
terhadap kaum itu.”[10]
Bin Asyur kemudian memberikan
beberapa contoh dari Al-Qur’an yaitu surat Al-Ahzab ayat 59 yang memerintahkan
wanita muslimah untuk memakai jilbab. Dia menilai bahwa itu merupakan ajaran
yang mempertimbangkan adat orang-orang arab . Sehingga bangsa-bangsa lain yang
tidak mengunakan jilbab tidak memperoleh bagian (tidak berlaku bagi mereka)
ketentuan ini.
Sedangkan Asymawi menulis sebuah
buku yang berjudul Kritik Atas Jilbab, yang diterbitkan oleh
Jaringan Islam Liberal dan The Asia Foundation, April 2003, editor Nong Darol
Mahmada, seorang aktivis liberal. Pandangan yang mengatakan bahwa jilbab itu
tidak wajib ditegaskan dalam buku ini.
Bahkan Asymawi dengan lantang
berkata bahwa hadits-hadits yang menjadi rujukan tentang pewajiban jilbab
atau hijab itu adalah hadis ahad yang tak
bisa dijadikan landasan hukum tetap. Buku ini, secara blak-blakan, mengurai
bahwa jilbab itu bukan kewajiban. Bahkan tradisi berjilbab di kalangan sahabat
dan tabi’in, menurut Asymawi, lebih merupakan keharusan budaya daripada
keharusan agama.
Menurut Asymawi, illat hukum pada ayat ini (Al-Ahzab ayat 59), atau tujuan dari
penguluran jilbab adalah agar wanita-wanita merdeka dapat dikenal dan dibedakan
dengan wanita-wanita yang berstatus hamba sahaya dan wanita-wanita yang tidak
terhormat, supaya tidak terjadi kerancuan di antara mereka. Illat hukum pada
ayat di atas, yaitu membedakan antara orang-orang merdeka dan hamba sahaya kini
telah tiada, karena masa kini sudah tidak ada lagi hamba sahaya.
Dengan demikian, tidak ada lagi
keharusan membedakan antara yang merdeka dengan yang berstatus budak, maka
ketetapan hukum yang dimaksud menjadi batal dan tidak wajib diterapkan berdasar
syariat agama. Demikian pendapat Muhammad Said Al-Asymawi sebagaimana dikutip
oleh Quraish Shihab.[11]
Berpegang pada kedua pendapat di atas Quraish
Shihab berpendapat bahwa jilbab merupakan adat istiadat dan produk budaya Arab.
Dan menurutnya, dengan mengutip perkataan Muhammad Thahir bin Asyur, bahwa adat
kebiasaan suatu kaum tidak boleh dalam kedudukannya sebagai adat untuk
dipaksakan terhadap kaum lain atas nama agama, bahkan tidak dapat dipaksakan
pula terhadap kaum itu.
M. Quraish Shihab memiliki pandangan yang menyatakan bahwa Allah tidak memerintahkan
wanita muslimah memakai jilbab. Pendapatnya tersebut ialah sebagai
berikut:“Ayat di atas tidak memerintahkan wanita muslimah memakai jilbab,
karena agaknya ketika itu sebagian mereka telah memakainya, hanya saja cara
memakainya belum mendukung apa yang dikehendaki ayat ini.
M.
Qurais Shihab menyimpulkan. Memang, kita boleh berkata bahwa yang menutup
seluruh badannya kecuali wajah dan (telapak) tangannya, menjalankan bunyi teks
ayat itu, bahkan mungkin berlebih.
Namun
dalam saat yang sama kita tidak wajar menyatakan terhadap mereka yang tidak
memakai kerudung, atau yang menampakkan tangannya, bahwa mereka “secara pasti
telah melanggar petunjuk agama.” Bukankah Al-Quran tidak menyebut batas aurat?
Para ulama pun ketika membahasnya berbeda pendapat.
Secara
garis besar, pendapat Quraish Shihab dapat disimpulkan dalam tiga hal. Pertama,
menurutnya jilbab adalah masalah khilafiyah. Kedua, ia menyimpulkan bahwa
ayat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang pakaian wanita mengandung aneka
interpretasi dan bahwa Al-Qur’an tidak menyebut batas aurat.
Ketiga,
ia memandang bahwa perintah jilbab itu bersifat anjuran dan bukan keharusan,
serta lebih merupakan budaya lokal Arab daripada kewajiban agama. Oleh karena
itu Quraish Shihab menyatakan bahwa tidak wajib wanita muslimah memakai jilbab.
C.
Gagasan dan Pemikiran Pendidikan Menurut
Quraish Shihab
Menurut Quraish Shihab adapun tujuan pendidikan
AL-Qur’an adalah membina manusia secara pribadi dan kelompok sehingga mampu
menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifahNya guna membangun dunia
ini sesuai dengan konsep yang ditetapkan Allah. Atau dengan kata yang lebih
singkat sering digunakan oleh Al-Qur’an, untuk bertakwa kepadaNya.[12]
Selanjutnya Quraish Shihab menjelaskan bahwa
manusia yang dibina melalui pendidikan sebgaimana tersebut di atas, adalah
makhluk yang memiliki unsur-nsur material(jasmani)dan immaterial(rohani) .
Pembinaan akal menghasilkan ilmu. Pembinaan jiwanya menghasilkan kesuciaan dan
etika,sedangkan pendidikan jasmaninya mengahasilkan keterampilan. Dengan
pengabungan unsure-unsur tersebut, terciptalah makhluk dwidimensi dalam satu
keseimbangan, dunia dan akhirat, ilmu dan iman. Itu sebabnya dalam pendidikan
Islam dikenal istilah adab ad-din al-dun-ya.
Tujuan
pendidikan Islam menurut Quraish Shihab adalah tujuan yang bersifat universal,
berlaku untuk seluruh bangsa dan umat di dunia. Hal ini sejalan dengan misi
Al-Qur’an yang ditujukan untuk membawa rahmat bagi seluruh alam. Melalui
kegiatan pendidikan , Al-Qur’an menginginkan terwujudnya manusia yang terbina
seluruh potensi dirinya, fisik, jiwa dan akalnya sehingga terbentuk manusia
yang seutuhnya. Manusia yang demikian
itulah yang dapat melaksanakan fungsinya sebagai khlaifah di muka bumi
dalam rangka pengabdian kepada Tuhan.[13]
Quraish Shihab terlibat aktif dalam berbagai
kegiatan yang berhubungan dengan pengembangan pendidikan, juga memiliki pemikiran
yang berkaitan dengan pendidikan. Selain, berbicara tentang tujuan dan metode
pendidikan, juga berbicara tentang sifat pendidikan.
Pemikiran Quraish Shihab dalam bidang
pendidikan sangat dipengaruhi oleh keahliannya dalam bidang tafsir Al-Qur’an yang
dipadukan dengan penguasaannya yang mendalam terhadap berbagai ilmu lainnya
baik ilmu-ilmu keislaman maupun ilmu pengetahuan umum serta konteks masyarakat
Indonesia. Dengan demikian, ia telah berhasil membumikan gagasan Al-Qur’an
tentang pendidikan dalam arti yang sesungguhnya, yakni sesuai dengan alam
pikiran masyarakat Indonesia.
Pemikiran dan gagasan Quraish Shihab tersebut
telah pula menunjukkan dengan jelas bahwa di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat
yang memiliki implikasi terhadap munculnya konsep pendidikan menurut Al-Qur’an
yang pada gilirannya dapat menjadi salah satu bidang kajian yang cukup menarik.
Upaya ini perlu dilakukan mengingat bahwa di dalam pemikiran Quraish Shihab
tersebut mengisyaratkan perlunya studi secara lebih mendalam tentang pendidikan
dalam perspektif
BAB III
KESIMPULAN
Quraish Shihab
adalah salah seorang mufassir yang terkenal di Indonesia, penafsirannya tentang
ayat-ayat hijab sangat berbeda dengan beberapa Ulama Kontemporer lainnya sehingga
memunculkan berbagai kritikan terhadapnya.
Tafsir Quraish Shihab tentang
ayat-ayat hijab banyak dipengaruhi oleh pemikiran Muhammad Thahir bin Asyur dan
Muhammad Said Al-Asymawi, dua tokoh berpikiran liberal asal Tunis dan Mesir,
yang berpendapat bahwa jilbab adalah produk budaya Arab.
Berpijak dari itu semua Quraish
Shihab menyatakan bahwa tidak wajib memakai jilbab bagi wanita muslimah. Jilbab
merupakan suatu adat arab dan bangsa lain tidak wajib mengikutinya dalam
masalah menutup aurat.
Kemudian Quraish Shihab juga
menyatakan bahwa masalah jilbab adalah masalah khilafiyah.Di dalam agama islam
tidak dijelaskan secara rinci batasan menutup aurat menurut Quraish Shihab.
Menurut
Quraish Shihab adapun tujuan pendidikan AL-Qur’an adalah membina manusia secara
pribadi dan kelompok sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah
dan khalifahNya guna membangun dunia ini sesuai dengan konsep yang ditetapkan
Allah. Atau dengan kata yang lebih singkat sering digunakan oleh Al-Qur’an,
untuk bertakwa kepadaNya
Penulis disini juga tidak
sependapat dengan pemikiran Quraish Shihab tersebut. Yang menyatakan bahwa
tidak wajib memakai jilbab bagi wanita muslimah. Penulis mengikuti anjuran
Ulama Kontemporer yang menyatakan bahwa wajib memakai jilbab sebagai identitas
wanita muslimah.
[1]Quraish Shihab,
Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan)
[2] Abudin Nata,
Tokoh-tokoh pembaharuan Islam di Indonesia,(Jakarta : PT Raja Grafindo)
[3] M.Quraish
Syihab,Lentera hati,Cet I(Bandung:Mizan)hlm 5
[4] Musyrifah
Sunanto,Sejarah Peradaban Islam Indonesia,Ed. 1 (Jakarta : PT Raja
Grafindo),hlm 289
[5] M.Quraish Shihab,Lentera
Al-Qur’an,Cet I(Bandung:Mizan)hlm 5
[6]
Shihab,Quraish
,Wawasan Al-Qur’an( Bandung : Mizan) hal 178
[7]
Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan (Bandung : PT Sigma Excamedia)hal 418
[8]
Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan……hal
350
[10]
Shihab,Quraish
,Wawasan Al-Qur’an………….. hal 178
[11]
q.shihab/Mengkritik%20Penafsiran%20Quraish%20Shihab%20tentang%20Ayat%20Hijab.di akses tanggal 4 oktober 2012
[13]
Abuddin Nata ,Tokoh-tokoh
Pembaharuan…………….hlm 367
Langganan:
Postingan (Atom)