Sabtu, 11 Mei 2013

Etika dan Estetika dalam Tinjauan Filsafat Pendidikan Islam



Makalah Presentasi
Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islam
Etika dan Estetika  dalam Tinjauan
Filsafat Pendidikan Islam
O
L
E
H
SARI MASYITA
NIM : 24121382-4
KONSENTRASI KEPENDIDIKAN ISLAM

Dosen Pembimbing :
DR.SYAHBUDDIN GADE,MA


PROGRAM  PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSSALAM-BANDA ACEH
2013


                                                                                                                  

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar belakang Masalah
Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang berlandaskan atas dasar-dasar ajaran Islam, yakni Al Qur'an dan Hadits sebagai pedoman hidup bagi seluruh umat Islam. Melalui pendidikan inilah, kita dapat memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam sesuai dengan ketentuan Al-Qur’an dan As-sunnah. Sehubungan dengan hal tersebut, tingkat pemahaman, penghayatan, dan pengamalan kita terhadap ajaran Islam sangat tergantung pada tingkat kualitas pendidikan Islam yang kita terima.
Aktivitas kependidikan Islam itu sendiri timbul sejak adanya manusia(Nabi Adam dan Hawa), bahkan ayat yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw adalah bukan perintah tentang solat, puasa dan lainnya, tetapi justru perintah iqra’(membaca, merenungkan, menelaah, meneliti, atau mengkaji)atau perintah untuk mencerdaskan kehidupan manusia yang merupakan inti dari aktivitas pendidikan. Dari situlah manusia memikirkan, menelaah dan meneliti bagaimana pelaksanaan pendidikan itu, sehingga muncullah pemikiran dan teori-teori pendidikan islam. Karena itu,’Ubud menyatakan bahwa tidak mungkin ada kegiatan pendidikan Islam dan sistem pengajaran Islam, tanpa adanya teori-teori, ilmu dan filsafat pendidikan Islam dan pandangan tersebut diperkuat oleh Langgulung.[1]
Untuk mengembangkan filsafat, ilmu dan teori pendidikan Islam diperlukan kejelasan kerangka ontologis, epistimologis, dan aksiologisnya terlebih dahulu. Suriasumantri menyatakan bahwa ontologi adalah asas menetapkan batas atau ruang lingkup wujud yang menjadi objek penelaahan(objek formal pengetahuan)serta penafsiran tentang hakikat realitas dari objek formal tersebut. Epistimologi adalah asas mengenai cara bagaimana materi pengetahuan diperoleh dan disusun menjadi suatu tubuh pengetahuan, dalam hal ini pendidikan Islam. Sedangkan aksiologi adalah asas dalam menggunakan pengetahuan yang telah diperoleh dan disusun dalam tubuh pengetahuan.[2]

Adapun yang ingin penulis bahas di dalam makalah ini adalah salah satunya yaitu aksiologi dalam filsafat pendidikan Islam yang mencakup etika dan estetika.
            Berdasarkan uraian di atas dapat diidentifikasikan permasalahan sebagai berikut:
1.      Apa Pengertian filsafat pendidikan Islam?
2.      Apa pengertian aksiologi?
3.      Apa pengertian Etika?
4.      Apa pengertian Estetika?
5.      Bagaimana hubungan antara filsafat pendidikan Islam dengan etika pendidikan?
6.      Bagaimana hubungan antara filsafat pendidkan Islam dengan estetika pendidikan?
7.      Apa orientasi pendidikan di Indonesia?

Adapun tujuan penulisan karya ilmiah ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui pengertian filsafat pendidikan Islam
2.      Untuk mengetahui pengertian aksiologi
3.      Untuk mengetahui pengertian etika
4.      Untuk mengetahui pengertian etika
5.      Untuk mengetahui pengertian estetika
6.      Untuk mengetahui hubungan antara filsafat pendidikan Islam dengan etika pendidikan
7.      Untuk mengetahui hubungan antara filsafat pendidikan Islam dengan estetika pendidikan

Dalam menyusun makalah ilmiah ini penulis melakukan penelitian kepustakaan(library research) dengan pendekatan deskriptif yang bersumber dari beberapa literatur yang relevan.




                                                                            BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Filsafat Pendidikan Islam
Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata Philo yang berarti cinta, dan kata Sophos yang berarti ilmu atau hikmah. Aristoteles (384-332 SM) salah seorang filosof Yunani kuno mengatakan bahwa filsafat memperhatikan seluruh pengetahuan, dan kadang-kadang disamakan dengan pengetahuan tentang wujud(ontologi).[3]
Pengertian pendidikan, di dalam kamus bahasa Indonesia , kata pendidikan terdiri dari kata didik yang mendapat awalan pen dan akhiran an. Kata tersebut sebagaimana dijelaskan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah perbuatan (hal, cara, dan sebagainya) mendidik. Pengertian ini memberi kesan bahwa kata pendidikan lebih mengacu kepada cara melakukan sesuatu perbuatan , dalam hal ini mendidik.[4]
Filsafat pendidikan menurut Al-Syaibani adalah Pelaksanaan pandangan falsafah dan kaidah falsafah dalam bidang pendidikan. Filsafat itu mencerminkan satu segi pelaksanaan falsafah umum dan menitik beratkan kepada pelaksanaan prinsip-prinsip dan kepercayaan-kepercayaan yang menjadi dasar dari falsafah umum dalam menyelesaikan masalah-masalah pendidikan secara praktis. Selanjutnya ia berpandangan bahwa filsafat pendidikan seperti halnya filsafat umum, berusaha mencari yang hak dan hakikat serta masalah yang berkaitan dengan proses pendidikan.[5]
Selanjutnya Muzayyin Arifin mengatakan filsafat pendidikan Islam pada hakikatnya adalah konsep berfikir tentang kependidikan yang bersumber atau berlandaskan ajaran-ajaran agama Islam tentang hakikat kemampuan manusia untuk dapat dibina dan dikembangkan serta dibimbing menjadi manusia muslim yang seluruh pribadinya dijiwai oleh ajaran Islam.[6]

Sungguhpun demikian, dari beberapa definisi tersebut, intinya dapat dirumuskan sebagai berikut bahwa filsafat pendidikan Islam adalah sebuah proses pemikiran yang sedalam-dalamnya tentang hal-hal yang berhubungan dengan pendidikan seperti tujuan pendidikan, kurikulum, dan hal-hal yang lainnya yang sesuai dengan  Al-Qur’an dan hadis yang merupakan pedoman hidup manusia.
B.     Pengertian Aksiologi
Aksiologi berasal dari kata axios dan logos. Axios artinya nilai atau sesuatu yang berharga, logos artinya akal, teori. Aksiologi merupakan salah satu cabang filsafat yang ketiga membahas tentang nilai (value).[7]Nilai artinya harga. Sesuatu mempunyai nilai bagi seseorang karena ia berharga bagi dirinya. Teori nilai mencakup dua cabang filsafat yang cukup terkenal yaitu etika dan estetika.
1.      Pengertian Etika
Etika pada umumnya diidentikkan dengan moral (atau moralitas). Namun, meskipun sama terkait dengan baik buruknya tindakan manusia, etika dan moral memiliki perbedaan pengertian. Secara singkat, jika moral lebih condong kepada pengertian “nilai baik dan buruk dari setiap perbuatan manusia itu sendiri”, maka etika berarti “ilmu yang mempelajari tentang baik dan buruk”. Jadi, bisa dikatakan, etika berfungsi sebagai teori dari perbuatan baik dan buruk(ethics atau ‘ilm al-akhlaq), dan moral (akhlaq) adalah praktiknya. Dalam disiplin filsafat, terkadang etika disamakan dengan filsafat moral.[8]
Moralitas adalah sistem nilai tentang bagaimana kita harus hidup secara baik sebagai manusia. Sistem nilai ini terkandung dalam ajaran berbentuk petuah-petuah,nasihat, wejangan, peraturan, perintah dan semacamnya yang diwariksan seccara turun-temurun melalui agama atau kebudayaan tertentu tentang bagaimana manusia harus hidup secara baik agar ia benar-benar menjadi manusia yang baik.[9] Telaah aksilogi dalam pendidikan merupakan suatu kegiatan filsafat dalam rangka merumuskan isi moral dalam pendidikan.
Selanjutnya terdapat beberapa definisi etika menurut beberapa ilmuwan baik dari islam maupun Barat. Menurut Bapak filsafat Yunani Klasik , yaitu Socrates, sebagaimana dipromosikan oleh Plato, muridnya. Teori ini menyatakan bahwa moralitas bersifat fitri. Yakni , pengetahuan tentang baik-buruk atau dorongan untuk berbuat baik sesungguhnya telah ada pada sifat alami pembawaan manusia(fitrah/innate nature).Menurut Aristoteles, muridnya Plato, mengatakan bahwa etika merupakan suatu keterampilan untuk berbuat baik atau buruk yang diperoleh dari hasil latihan dan pengajaran.[10]
Immanuel Kant Filosof jerman berpendapat bahwa etika adalah urusan “nalar praktis”. Artinya , pada dasarnya nilai-nilai moral itu telah tertanam pada diri manusia sebagai sebuah kewajiban(imperative kategoris). Kecenderungan berbuat baik , misalnya sebenarnya telah ada pada diri manusia. Manusia pada intinya hanya menunaikan kecenderungan diri dalam setiap perbuatannya.[11]
 Immanuel Kant menulis dua buku filsafat dengan tema akal teoritis dan akal praktis. Inti pembahasannya seputar permasalahan hikmah dan etika praktis. Dalam pandangannya, tindakan akhlaki adalah tindakan manusia yang merupakan buah hasil dari perintah intuisi. Perbuatan akhlaki semata-mata mengikuti perintah intuisi. Manusia tidak ragu berlaku etis semata-mata karena mengikuti perintah intuisi bukan karena satu hal, maupun maksud lain.[12]
Menurut Asy’ariyah makna etika murni bersifat subjektif , artinya bisa bermakna dengan adanya subjek , dalam hal ini adalah Allah. Satu-satunya tujuan bertindak moral ialah mematuhi Allah. Berbeda dengan Mu’tazilah, mereka berpendapat bahwa semua perintah Allah benar adanya, dan sifat benarnya terpisah dari perintah Allah. Dia memerintahkan kita untuk melakukan sesuatu yang benar lantaran memang benar adanya, berdasarkan landasan-landasan objektif, bukan pada perintah Allah. Allah tidak bisa menuntut kita melakukan sesuatu yang tidak benar karena aturan-aturan moralitas bukanlah hal yang berada di bawah kendaliNya. Memang, Dia lebih tau tindakan mana yang mesti dilakukan oleh kita, dan kita mesti terus mencari bimbinganNya..[13]
Kalangan Asy’ariyah memandang moralitas berada di bawah kontrol Tuhan, atau dengan pengertian lain moralitas itu mengandaikan agama. Akan tetapi, kalangan Mu’tazilah berpandangan sebaliknya. Mereka memandang moralitas adalah sebuah tindakan rasional manusia dalam melihat mana yang baik dan mana yang buruk, tidak semata ditentukan oleh tuntutan agama.[14]
Salah satu tokoh Asy’ariyah yang banyak mengembangkan teori etika di dunia Islam adalah al-Ghazali. Beliau menghubungkan wahyu dengan tindakan moral. Al-Ghazali menyarankan kepada kita untuk memandang kebahagiaan sebagai pemberian anugerah Tuhan.
Etika merupakan salah satu bagian dari aksiologi yang menarik untuk dikaji sehingga memunculkan banyak definisi dari beberapa ahli baik dari Islam maupun Barat sehingga etika juga merupakan bagian dari filsafat. Etika juga disebut filsafat moral, yaitu cabang fisafat yang berbicara tentang praksis (tindakan) manusia. Etika tidak mempersoalkan keadaan manusia, melainkan mempersoalkan bagaimana manuisa harus bertindak.
Tindakan manusia ini ditentukan olah bermacam-macam norma. Dalam hal ini, kepribadian yang merupakan cerminan watak dan tingkah laku seseorang dapat berpengaruh terhadap etika orang tersebut di masyarakat. Artinya, nilai-nilai yang telah diterima oleh seseorang akan menentukan corak kepribadian orang tersebut. Etika merupakan filsafat yang merefleksikan ajaran moral.[15]
2.      Filsafat Pendidikan Islam dan Etika Pendidikan
Islam memiliki idiologi al-tauhid yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah. Sedangkan non Islam memiliki berbagai macam idiologi yang bersumberkan dari isme-isme materialis, komunis, ateis, sosialis, kapitalis dan sebgainya. Dengan begitu maka perbedaan kedua sistem tersebut adalah muatan ideologinya yang ingin dicapai. Apabila ide pokok ideologi Islam berupa al-tauhid, maka setiap tindakan sistem pendidikan Islam harus berdasarkan al-tauhid pula.[16]
Berdasarkan pendekatan filosofis, tujuan pendidikan Islam sejalan dan identik dengan tujuan ajaran Islam sebagai agama tauhid yang menegaskan, bahwa Tuhan yang unik telah menciptakan manusia dalam bentuk yang paling baik dengan tujuan menyembah dan mangabdi kepadaNya. Dengan demikian kedua tujuan dimaksud menyatu dalam hakikat penciptaan manusia itu sendiri, yaitu menjadikan manusia sebagai pengabdi Allah yang setia. Secara konsepsional wujud dari pengabdi Allah yang setia tersebut adalah sosok manusia yang berakhlak mulia(akhlaq al-karimah), beriman dan bertakwa.[17]
Agama dalam kehidupan berindividu berfungsi sebagai suatu sistem nilai yang memuat norma-norma tertentu. Secara umum norma-norma tersebut menjadi kerangka acuan dalam bersikap dan bertingkah laku, agar sejalan dengan agama yang dianutnya sebagai sistem nilai agama memiliki arti yang khusus dalam kehidupan individu, serta dipertahankan sebagai bentuk ciri khas.Dalam pendekatan filsafat, keyakinan terkait dengan nilai, yaitu sesuatu yang dianggap benar, serta perlu dipertahankan dan diperjuangkan, komponen dari sebuah sistem nilai. Sistem yang berisi pedoman berperilaku(code of conduct) begi orang-orang yang menganut keyakinan tersebut. Kemudian diyakini bahwa pendidikan merupakan upaya yang dinilai paling efektif dalam menanamkan nilai-nilai ajaran Islam kepada generasi mudanya. Di sini tampak, bahwa manusia ditempatkan sebagai objek dan sekaligus subyek pendidikan.
Dalam pendekatan filsafat pendidikan Islam, pada hakikatnya ajaran Islam adalah sebuah sistem nilai. Diyakini kebenarannya, serta didalamnya terkandung pedoman bersikap dan berperilaku yang tersusun secara smpurna dan lengkap. Sumber ajarannya adalah Al-Qur’an, dan realisasinya adalah terwujud dalam bentuk akhlak al-karimah(akhlak yang mulia). Semuanya ini telah dilaksnakan secara sempurna oleh Rasulluah yang oleh Allah nyatakan sebagai sosok teladan paling baik dan paling sempurna bagi kaum muslimin.
Dengan demikian sistem nilai yang dimaksudkan oleh filsafat pendidikan Islam identik dengan sistem nilai sebagai agama. Sistem nilai tersebut terangkum dalam konsep akhlak al-karimah . Sistem nilai dalam pendekatan filsafat pendidikan Islam mencakup dua dimensi , yakni pandangan dunia (word view) dan pandangan akhirat (akhirat view) yang keduanya didasarkan pada pandangan Illahi(Good View). Tegasnya, sistem nilai dalam kehidupan manuisa dalam pendekatan filsafat pendidikan Islam terangkum dalam konsep akhlak al-karimah dan berisi misi pemeliharaaan agama, jiwa, akal, harta dan keturunan.
Moralitas atau etika dalam pandangan Islam sering disebut sebagai akhlak, Istilah akhlak (khuluk atau character) di ambil dari al-Qur’an, sedangkan contoh dari akhlak sendiri adalah sebagaimana yang di contohkan oleh Nabi Muhammad. Moral dan akhlak dalam cakupan pendidikan, di definisikan oleh sebagaian cendikiawan muslim sebagai adab. Karena salah satu hal yang melekat dalam konsep pendidikan Islam adalah penanaman adab (the inculcation of adab).Jadi, akhlak dan moral merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dalam pendidikan. Karenanya barang siapa yang bertambah ilmunya tetapi moralnya tidak bertambah, maka  dia semakin jauh dari Tuhannya.
Dalam Islam,tujuan yang dikembangkannya adalah mendidik budi pekerti,oleh karenanya, pendidikan budi pekerti dan akhlak merupakan jiwa dairi pendidikan Islam. Mencapai suatu akhlak yang sempurna adalah tujuan sesungguhnya dari proses pendidikan.[18]
 Kesimpulannya adalah etika muslim harus sejalan dan sesuai dengan apa yang dituntun di dalam Al-Qur’an dan Hadis, yaitu berakhlakul karimah seperti teladan kita Rasullluah Saw. Dan dalam mewujudkan itu semua diperlukan adanya kerjasama yang baik antara keluarga, masyarakat dan guru dalam membina etika anak didik agar sesuai dengan yang diharapkan, karena keluarga, guru dan masyarakat merupakan contoh dan teladan anak didik dalam beretika. Agar mereka bisa menjadi pribadi muslim yang mempunyai etika yang baik dan benar sesuia Al-Qur’an dan Hadis yang merupakan pedoman hidup umat manusia.
Akhlak dan moral merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dalam pendidikan. Karenanya barang siapa yang bertambah ilmunya tetapi moralnya tidak bertambah, maka  dia semakin jauh dari Tuhannya
3.      Orientasi Pendidikan Indonesia
Indonesia adalah sebuah negara besar yang memiliki penduduk ratusan jiwa. Indonesia juga merupakan negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam. Berhubungan dengan masalah pendidikan di Indonesia semuanya mengacu pengembangan  kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[19]
Terlepas dari itu semua kita melihat pendidikan di Indonesia hari ini jauh dari tujuan pendidikan nasional yaitu membentuk manusia menjadi beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Dunia pendidikan kita saat ini, hanya mengiginkan siswa-siswa yang cerdas, kreatif, kritis dan berprestasi secara akademik, tetapi menepikan masalah akhlak si anak.
Orientasi pendidikan nasional tersebut terkadang mengalami pergeseran, khususnya ketika mencuatnya isu otonomi pendidikan. Disatu sisi otonomi pendidikan memberikan keleluasaan bagi sekolah untuk mengembangkan metode dan sistem pendidikan, tapi disisi lain improvisasi metode dan sistem itu tidak terkontrol.
Di tingkat dasar dan menengah misalnya, khususnya yang terletak di pedesaan, sekolah mewajibkan siswinya untuk memakai jilbab dan pakaian yang sopan, sedangkan sekolah yang berada diperkotaan umumnya, tidak memiliki penekanan pada aspek ini, tidak heran jika banyak ditemukan siswi yang tidak berjilbab dan berpakain kurang sopan. Disamping itu, tujuan pendidikan nasional belum sepenuhnya terimplementasikan dalam kurikulum yang dikembangkan saat ini, kurikulum tingkat satuan pendidikan rupanya lebih menekankan aspek kognitif siswa, dengan adanya pembelajaran kontekstual. Krisis moral terjadi karena penyebabnya salah satunya adalah karena sedikitnya jam pelajaran agama Islam di sekolah-sekolah umum sehingga anak jauh dari agama dan kurangnya penanaman akhlak yang sbaik sehingga dampaknya kepada akhlak si anak.
Tujuan dari pendidikan adalah pembinaan akhlak. Semua pelajaran menurut al-Abrasyi harus ikut mendukung terciptanya akhlak manusia. Selanjutnya ia mengatakan bahwa pendidikan harus memperdulikan persoalan dunia dan akhirat secara seimbang. [20]Karena sesungguhnya hakikat pendidikan menurut kacamata Islam adalah menumbuhkan manusia dan membentuk kepribadiannya agar menjadi manusia yang sempurna yang berbudi luhur dan berakhlak mulia, sehingga menjadi pendorong baginya dan menghalangi mereka dari perbuatan maksiat.[21]


Pendidikan Islam berorientasi kepada duniawi dan ukhrawi, sedangkan non Islam, orientasinya duniawi semata. Di dalam Islam antara dunia dan akhirat merupakan kelanjutan dari dunia, bahkan suatu mutu akhirat adalah konsekuensi dari mutu kehidupan dunia. Segala perbuatan muslim dalam bidang apapun memiliki kaitan dengan akhirat.[22]

4.      Pengertian Estetika
Istilah estetika muncul pertama kali pada pertengahan abad ke -18, melalui seorang filsuf Jerman, Alexander Baumgarten. Sang filsuf memasukkan estetika sebagai ranah pengetahuan sensoris, yaitu pengetahuan rasa yang berbeda dari pengetahuan logika, sebelum akhirnya ia sampai kepada penggunaan istilah tersebut dalam kaitan persepsi atas rasa keindahan, khususnya keindahan karya seni. Selanjutnya, Emmanuel Kant menggunakan istilah tersebut dengan menerapkannya untuk menilai keindahan, baik yang terdapat dalam karya seni maupun dalam alam secara luas.[23]
Estetika berasal dari kata aistheton atau aisthetikos, yang dalam bahasa Yunani Kuno berarti persepsi atau kemampuan mencerap sesuatu secara indrawi. Menurut plato, keindahan adalah realitas yang sebenarnya dan tidak pernah berubah-ubah. Bagi Plato , keindahan itu merupakan pancaran akal ilahi. Bila yang hakikat ilahi itu menyatakan dirinya atau memancarkan sinarnya pada, atau dalam realitas penuh, maka itulah keindahan.
 Menurut Kant, keindahan itu merupakan sifat obyek bukan terletak pada subyek. [24]
Estetika adalah nilai-nilai indah dan jeleknya sesuatu. Perasaan estetis disebut pula sebagai perasaan keindahan. Perasaan keindahan ini biasa terungkap dalam seni, namun ada pula yang mengendap dalam diri menjadi cinta tanpa pamrih.
              Selanjutnya, nilai baik sebanding dengan nilai indah, tetapi kata” indah” lebih sering dikenakan pada seni, sedangkan “baik” pada perbuatan. Di dalam kehidupan, indah lebih berpengaruh ketimbang baik. Orang lebih tertarik pada rupa ketimbang pada tingkah laku. Orang yang tingkah lakunya baik(etika), tetapi kurang indah(estetika), akan dipilih belakangan, yang dipilih lebih dulu adalah orang yang indah, sekalipun kurang baik.[25]

5.      Filsafat Pendidikan Islam dan Estetika Pendidikan
Adapun yang mendasari hubungan antara filsafat pendidikan Islam dan estetika pendidikan adalah lebih    menitik beratkan kepada predikat keindahan yang diberikan pada hasil seni. Dalam dunia pendidikan sebagaimana diungkapkan oleh Randall dan Buchler mengemukakanadatigainterpretasitentanghakikatseni:
1.Senisebagaipenebusanterhadaprealitas,selainpengalaman
2.Senisebagaialatkesenangan
3.Seni  sebagai ekspresi yang sebenarnya tentang pengalaman.
 Namun, lebih jauh dari itu, maka dalam dunia pendidikan hendaklah nilai estetika menjadi patokan penting dalam proses pengembagan pendidikan yakni dengan menggunakan pendekatan estetis-moral, dimana setiap persoalan pendidikan Islam coba dilihat dari perspektif yang mengikut sertakan kepentingan masing-masing pihak, baik itu siswa, guru, pemerintah, pendidik serta masyarakat luas. Ini berarti pendidikan Islam diorientasikan pada upaya menciptakan suatu kepribadian yang kreatif, berseni (sesuai dengan Islam).
Pendidikan yang di dalamnya mengandung nilai-nilai estetika,akan mampu memberikan warna tersendiri bagi pelaku pendidikan.






 


BAB III
KESIMPULAN
1)      filsafat pendidikan Islam pada hakikatnya adalah konsep berfikir tentang kependidikan yang bersumber atau berlandaskan ajaran-ajaran agama Islam tentang hakikat kemampuan manusia untuk dapat dibina dan dikembangkan serta dibimbing menjadi manusia muslim yang seluruh pribadinya dijiwai oleh ajaran Islam
2)      Aksiologi berasal dari kata axios dan logos. Axios artinya nilai atau sesuatu yang berharga, logos artinya akal, teori. Aksiologi merupakan salah satu cabang filsafat yang ketiga membahas tentang nilai (value)
3)      Etika pada umumnya diidentikkan dengan moral (atau moralitas). Namun, meskipun sama terkait dengan baik buruknya tindakan manusia, etika dan moral memiliki perbedaan pengertian. Secara singkat, jika moral lebih condong kepada pengertian “nilai baik dan buruk dari setiap perbuatan manusia itu sendiri”, maka etika berarti “ilmu yang mempelajari tentang baik dan buruk”. Jadi, bisa dikatakan, etika berfungsi sebagai teori dari perbuatan baik dan buruk(ethics atau ‘ilm al-akhlaq), dan moral (akhlaq) adalah praktiknya. Dalam disiplin filsafat, terkadang etika disamakan dengan filsafat moral
4)      Indonesia adalah sebuah negara besar yang memiliki penduduk ratusan jiwa. Indonesia juga merupakan negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam. Berhubungan dengan masalah pendidikan di Indonesia semuanya mengacu pengembangan  kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
5)      Estetika berasal dari kata aistheton atau aisthetikos, yang dalam bahasa Yunani Kuno berarti persepsi atau kemampuan mencerap sesuatu secara indrawi. Menurut plato, keindahan adalah realitas yang sebenarnya dan tidak pernah berubah-ubah. Bagi Plato , keindahan itu merupakan pancaran akal ilahi. Bila yang hakikat ilahi itu menyatakan dirinya atau memancarkan sinarnya pada, atau dalam realitas penuh, maka itulah keindahan
6)      Akhlak dan moral merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dalam pendidikan. Karenanya barang siapa yang bertambah ilmunya tetapi moralnya tidak bertambah, maka  dia semakin jauh dari Tuhannya

  
     
  

DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata,Filsafat Pendidikan Islam,Cet I(Jakarta:Logos Wacana Ilmu)1997

Acmadi,Ideologi Pendidikan Islam,Cet I(Yogyakarta:Pustaka Pelajar)2005

Burhanuddin salam,Etika Sosial,(Jakarta:PT Rineka Cipta)1997

Rizal Mustansyir M.Hum.Filsafat Ilmu,Cet III(Yogyakarta:Pustaka Pelajar)2003

M.Amin Abdullah, Antara Al-Ghazali dan Kant:Filsafat etika Islam,Cet II(Bandung:Mizan)hlm

2002

Murtadha Muthahhari,filsafat Moral Islam,Cet I(Jakarta:Al-Huda)2004

Muhammad Ar,Pendidikan di Alaf Baru,Cet I(Jogjakarta:Prismasophie Press)2003

Oliver Leaman,Pengantar Filsafat Islam:Sebuah PendekataTematis,CetII(Bandung:Mizan)2002

Sjarkawi,Pembentukan Kepribadian Anak,Cet I(Jakarta:PT Bumu Aksara)2006

Sehat Sultoni Dalimunthe,Filsafat Ilmu,Cet I,(Depok:Indie Publishing)2011

Juhaya S.Praja,Aliran-aliran Filsafat Dan Etika, (Bandung:Yayasan Piara)1997

Muhaimin,Nuansa Baru pendidikan Islam,(Jakarta:Raja Grafindo persada)2006

Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan,( Bandung. Penerbit Alfabeta CV,2007)

Ramayulis,Ilmu Pendidikan Islam,Cet III(Jakarta:Kalam Mulia)2002

Suwendi,Sejarah Pemikiran Pendidikan Islam(Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,2004)







[1] Muhaimin,Nuansa Baru pendidikan Islam,(Jakarta:Raja Grafindo persada,2006)h.15
[2] Muhaimin,Nuansa Baru pendidikan…………………….hlm 16
[3] Abuddin Nata,Filsafat Pendidikan Islam,Cet I(Jakarta:Logos Wacana Ilmu,1997)h.1
[4] Abuddin Nata,Filsafat Pendidikan……………………hlm 4
[5] Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan,( Bandung. Penerbit Alfabeta CV,2007)h.71-72.
[6] Abuddin Nata,Filsafat Pendidikan……………………hlm13
[7] Rizal Mustansyir M.Hum.Filsafat Ilmu,Cet III(Yogyakarta:Pustaka Pelajar)hlm 26,2003
[8] M.Amin Abdullah, Antara Al-Ghazali dan Kant:Filsafat etika Islam,Cet II(Bandung:Mizan)hlm 15,2002
[9] Burhanuddin salam,Etika Sosial,(Jakarta:PT Rineka Cipta)hlm 3
[10] M.Amin Abdullah, Antara Al-Ghazali dan Kant:Filsafat…………………………..hlm 17
[11] M.Amin Abdullah, Antara Al-Ghazali dan Kant:Filsafat…………………………..hlm 17
[12] Murtadha Muthahhari,filsafat Moral Islam,Cet I(Jakarta:Al-Huda)hlm 58,2004
[13] Oliver Leaman,Pengantar Filsafat Islam:Sebuah Pendekatan Tematis,Cet II(Bandung:Mizan)hlm 127 ,2002
[15]Sjarkawi,Pembentukan Kepribadian Anak,Cet I(Jakarta:PT Bumu Aksara)hlm 36,2006
[16] Ramayulis,Ilmu Pendidikan Islam,Cet III(Jakarta:Kalam Mulia)h.5
[17] Jalaludin, Filsafat Pendidikan Islam(Jakarta:Kalam Mulia)hlm 119 2011   
[18] Suwendi,Sejarah Pemikiran Pendidikan Islam(Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,2004)h.16
[19] http://birokrasi.kompasiana.com/2011/01/04/orientasi-pendidikan-di-indonesia-harus-dibenahi-330279.html
[20] Sehat Sultoni Dalimunthe,Filsafat Ilmu,Cet I,(Depok:Indie Publishing)h.121
[21] Muhammad Ar,Pendidikan di Alaf Baru,Cet I(Jogjakarta:Prismasophie Press)h.28
[22] Ramayulis,Ilmu Pendidikan……………………….h.6
[23] Sjarkawi,Pembentukan Kepribadian…………………hlm 33
[24] Juhaya S.Praja,Aliran-aliran Filsafat Dan Etika, (Bandung:Yayasan Piara) hlm 48,1997
[25] Ahmad tafsir,Filsafat Umum(Bandung:PT Remaja Rosdakarya,2004)h.40
 










1 komentar:

  1. Pendidikan etika sangat penting dipelajari dalam bidang apapun juga karena pendidikan ini akan membentuk moral dan budi pekerti sesorang. Sering orang tua mengabaikan pendidikan yang satu ini dan selalu lebih mendewakan prestasi dari pendidikan budi pekerti. Berbagai bidang mempunyai program sendiri untuk kurikulum pelajaran ini termasuk Pendidikan etika dalam seni

    BalasHapus