Makalah
Presentasi
Mata
Kuliah Filsafat Pendidikan Islam
Etika dan Estetika dalam
Tinjauan
Filsafat Pendidikan Islam
O
L
E
H
SARI MASYITA
NIM : 24121382-4
KONSENTRASI KEPENDIDIKAN ISLAM
Dosen Pembimbing :
DR.SYAHBUDDIN GADE,MA
PROGRAM
PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSSALAM-BANDA ACEH
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang Masalah
Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang berlandaskan atas
dasar-dasar ajaran Islam, yakni Al Qur'an dan Hadits sebagai pedoman hidup bagi
seluruh umat Islam. Melalui
pendidikan inilah, kita dapat memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam
sesuai dengan ketentuan Al-Qur’an dan As-sunnah. Sehubungan dengan hal
tersebut, tingkat pemahaman, penghayatan, dan pengamalan kita terhadap ajaran
Islam sangat tergantung pada tingkat kualitas pendidikan Islam yang kita terima.
Aktivitas
kependidikan Islam itu sendiri timbul sejak adanya manusia(Nabi Adam dan Hawa),
bahkan ayat yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw adalah bukan
perintah tentang solat, puasa dan lainnya, tetapi justru perintah iqra’(membaca, merenungkan, menelaah,
meneliti, atau mengkaji)atau perintah untuk mencerdaskan kehidupan manusia yang
merupakan inti dari aktivitas pendidikan. Dari situlah manusia memikirkan,
menelaah dan meneliti bagaimana pelaksanaan pendidikan itu, sehingga muncullah
pemikiran dan teori-teori pendidikan islam. Karena itu,’Ubud menyatakan bahwa
tidak mungkin ada kegiatan pendidikan Islam dan sistem pengajaran Islam, tanpa
adanya teori-teori, ilmu dan filsafat pendidikan Islam dan pandangan tersebut
diperkuat oleh Langgulung.[1]
Untuk
mengembangkan filsafat, ilmu dan teori pendidikan Islam diperlukan kejelasan
kerangka ontologis, epistimologis, dan aksiologisnya terlebih dahulu.
Suriasumantri menyatakan bahwa ontologi adalah asas menetapkan batas atau ruang
lingkup wujud yang menjadi objek penelaahan(objek formal pengetahuan)serta
penafsiran tentang hakikat realitas dari objek formal tersebut. Epistimologi
adalah asas mengenai cara bagaimana materi pengetahuan diperoleh dan disusun
menjadi suatu tubuh pengetahuan, dalam hal ini pendidikan Islam. Sedangkan
aksiologi adalah asas dalam menggunakan pengetahuan yang telah diperoleh dan
disusun dalam tubuh pengetahuan.[2]
Adapun
yang ingin penulis bahas di dalam makalah ini adalah salah satunya yaitu
aksiologi dalam filsafat pendidikan Islam yang mencakup etika dan estetika.
Berdasarkan uraian di atas dapat
diidentifikasikan permasalahan sebagai berikut:
1.
Apa Pengertian filsafat pendidikan
Islam?
2.
Apa pengertian aksiologi?
3.
Apa pengertian Etika?
4.
Apa pengertian Estetika?
5.
Bagaimana hubungan antara filsafat
pendidikan Islam dengan etika pendidikan?
6.
Bagaimana hubungan antara filsafat
pendidkan Islam dengan estetika pendidikan?
7.
Apa orientasi pendidikan di
Indonesia?
Adapun tujuan penulisan karya
ilmiah ini adalah sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui pengertian
filsafat pendidikan Islam
2.
Untuk mengetahui pengertian aksiologi
3.
Untuk mengetahui pengertian etika
4.
Untuk mengetahui pengertian etika
5.
Untuk mengetahui pengertian
estetika
6.
Untuk mengetahui hubungan antara
filsafat pendidikan Islam dengan etika pendidikan
7.
Untuk mengetahui hubungan antara
filsafat pendidikan Islam dengan estetika pendidikan
Dalam
menyusun makalah ilmiah ini penulis melakukan penelitian kepustakaan(library
research) dengan pendekatan deskriptif yang bersumber dari beberapa literatur
yang relevan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Filsafat Pendidikan Islam
Secara
harfiah, kata filsafat berasal dari kata Philo yang berarti cinta, dan kata
Sophos yang berarti ilmu atau hikmah. Aristoteles (384-332 SM) salah seorang
filosof Yunani kuno mengatakan bahwa filsafat memperhatikan seluruh pengetahuan,
dan kadang-kadang disamakan dengan pengetahuan tentang wujud(ontologi).[3]
Pengertian
pendidikan, di dalam kamus bahasa Indonesia , kata pendidikan terdiri dari kata
didik yang mendapat awalan pen dan akhiran an. Kata tersebut sebagaimana
dijelaskan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah perbuatan (hal, cara, dan
sebagainya) mendidik. Pengertian ini memberi kesan bahwa kata pendidikan lebih
mengacu kepada cara melakukan sesuatu perbuatan , dalam hal ini mendidik.[4]
Filsafat
pendidikan menurut Al-Syaibani adalah Pelaksanaan pandangan falsafah dan kaidah
falsafah dalam bidang pendidikan. Filsafat itu mencerminkan satu segi
pelaksanaan falsafah umum dan menitik beratkan kepada pelaksanaan
prinsip-prinsip dan kepercayaan-kepercayaan yang menjadi dasar dari falsafah
umum dalam menyelesaikan masalah-masalah pendidikan secara praktis. Selanjutnya
ia berpandangan bahwa filsafat pendidikan seperti halnya filsafat umum,
berusaha mencari yang hak dan hakikat serta masalah yang berkaitan dengan
proses pendidikan.[5]
Selanjutnya Muzayyin
Arifin mengatakan filsafat pendidikan Islam pada hakikatnya adalah konsep
berfikir tentang kependidikan yang bersumber atau berlandaskan ajaran-ajaran
agama Islam tentang hakikat kemampuan manusia untuk dapat dibina dan
dikembangkan serta dibimbing menjadi manusia muslim yang seluruh pribadinya
dijiwai oleh ajaran Islam.[6]
Sungguhpun
demikian, dari beberapa definisi tersebut, intinya dapat dirumuskan sebagai
berikut bahwa filsafat pendidikan Islam adalah sebuah proses pemikiran yang
sedalam-dalamnya tentang hal-hal yang berhubungan dengan pendidikan seperti
tujuan pendidikan, kurikulum, dan hal-hal yang lainnya yang sesuai dengan Al-Qur’an dan hadis yang merupakan pedoman
hidup manusia.
B. Pengertian Aksiologi
Aksiologi berasal dari kata axios
dan logos. Axios artinya nilai atau sesuatu yang berharga, logos artinya akal,
teori. Aksiologi
merupakan salah satu cabang filsafat yang ketiga membahas tentang nilai (value).[7]Nilai
artinya harga. Sesuatu mempunyai nilai bagi seseorang karena ia berharga bagi
dirinya. Teori nilai mencakup dua cabang filsafat yang cukup terkenal yaitu etika
dan estetika.
1. Pengertian Etika
Etika pada umumnya diidentikkan
dengan moral (atau moralitas). Namun, meskipun sama terkait dengan baik
buruknya tindakan manusia, etika dan moral memiliki perbedaan pengertian.
Secara singkat, jika moral lebih condong kepada pengertian “nilai baik dan
buruk dari setiap perbuatan manusia itu sendiri”, maka etika berarti “ilmu yang
mempelajari tentang baik dan buruk”. Jadi, bisa dikatakan, etika berfungsi
sebagai teori dari perbuatan baik dan buruk(ethics atau ‘ilm al-akhlaq), dan
moral (akhlaq) adalah praktiknya. Dalam disiplin filsafat, terkadang etika
disamakan dengan filsafat moral.[8]
Moralitas adalah sistem nilai
tentang bagaimana kita harus hidup secara baik sebagai manusia. Sistem nilai
ini terkandung dalam ajaran berbentuk petuah-petuah,nasihat, wejangan,
peraturan, perintah dan semacamnya yang diwariksan seccara turun-temurun
melalui agama atau kebudayaan tertentu tentang bagaimana manusia harus hidup
secara baik agar ia benar-benar menjadi manusia yang baik.[9]
Telaah aksilogi dalam pendidikan merupakan suatu kegiatan filsafat dalam rangka
merumuskan isi moral dalam pendidikan.
Selanjutnya terdapat beberapa
definisi etika menurut beberapa ilmuwan baik dari islam maupun Barat. Menurut
Bapak filsafat Yunani Klasik , yaitu Socrates, sebagaimana dipromosikan oleh
Plato, muridnya. Teori ini menyatakan bahwa moralitas bersifat fitri. Yakni ,
pengetahuan tentang baik-buruk atau dorongan untuk berbuat baik sesungguhnya
telah ada pada sifat alami pembawaan manusia(fitrah/innate nature).Menurut
Aristoteles, muridnya Plato, mengatakan bahwa etika merupakan suatu keterampilan
untuk berbuat baik atau buruk yang diperoleh dari hasil latihan dan pengajaran.[10]
Immanuel Kant Filosof jerman berpendapat
bahwa etika adalah urusan “nalar praktis”. Artinya , pada dasarnya nilai-nilai
moral itu telah tertanam pada diri manusia sebagai sebuah kewajiban(imperative
kategoris). Kecenderungan berbuat baik , misalnya sebenarnya telah ada pada
diri manusia. Manusia pada intinya hanya menunaikan kecenderungan diri dalam
setiap perbuatannya.[11]
Immanuel Kant menulis dua buku filsafat dengan
tema akal teoritis dan akal praktis. Inti pembahasannya seputar permasalahan
hikmah dan etika praktis. Dalam pandangannya, tindakan akhlaki adalah tindakan
manusia yang merupakan buah hasil dari perintah intuisi. Perbuatan akhlaki
semata-mata mengikuti perintah intuisi. Manusia tidak ragu berlaku etis
semata-mata karena mengikuti perintah intuisi bukan karena satu hal, maupun
maksud lain.[12]
Menurut Asy’ariyah makna etika murni bersifat subjektif , artinya
bisa bermakna dengan adanya subjek , dalam hal ini adalah Allah. Satu-satunya
tujuan bertindak moral ialah mematuhi Allah. Berbeda dengan Mu’tazilah, mereka
berpendapat bahwa semua perintah Allah benar adanya, dan sifat benarnya
terpisah dari perintah Allah. Dia memerintahkan kita untuk melakukan sesuatu
yang benar lantaran memang benar adanya, berdasarkan landasan-landasan
objektif, bukan pada perintah Allah. Allah tidak bisa menuntut kita melakukan
sesuatu yang tidak benar karena aturan-aturan moralitas bukanlah hal yang
berada di bawah kendaliNya. Memang, Dia lebih tau tindakan mana yang mesti
dilakukan oleh kita, dan kita mesti terus mencari bimbinganNya..[13]
Kalangan Asy’ariyah memandang moralitas berada di bawah kontrol
Tuhan, atau dengan pengertian lain moralitas itu mengandaikan agama. Akan
tetapi, kalangan Mu’tazilah berpandangan sebaliknya. Mereka memandang moralitas
adalah sebuah tindakan rasional manusia dalam melihat mana yang baik dan mana
yang buruk, tidak semata ditentukan oleh tuntutan agama.[14]
Salah satu tokoh Asy’ariyah yang banyak mengembangkan teori etika
di dunia Islam adalah al-Ghazali. Beliau menghubungkan wahyu dengan tindakan
moral. Al-Ghazali menyarankan kepada kita untuk memandang kebahagiaan sebagai
pemberian anugerah Tuhan.
Etika merupakan salah satu bagian dari aksiologi yang menarik untuk
dikaji sehingga memunculkan banyak definisi dari beberapa ahli baik dari Islam
maupun Barat sehingga etika juga merupakan bagian dari filsafat. Etika juga
disebut filsafat moral, yaitu cabang fisafat yang berbicara tentang praksis (tindakan)
manusia. Etika tidak mempersoalkan keadaan manusia, melainkan mempersoalkan
bagaimana manuisa harus bertindak.
Tindakan manusia ini ditentukan olah bermacam-macam norma. Dalam
hal ini, kepribadian yang merupakan cerminan watak dan tingkah laku seseorang
dapat berpengaruh terhadap etika orang tersebut di masyarakat. Artinya,
nilai-nilai yang telah diterima oleh seseorang akan menentukan corak
kepribadian orang tersebut. Etika merupakan filsafat yang merefleksikan ajaran
moral.[15]
2. Filsafat
Pendidikan Islam dan Etika Pendidikan
Islam
memiliki idiologi al-tauhid yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah. Sedangkan
non Islam memiliki berbagai macam idiologi yang bersumberkan dari isme-isme
materialis, komunis, ateis, sosialis, kapitalis dan sebgainya. Dengan begitu
maka perbedaan kedua sistem tersebut adalah muatan ideologinya yang ingin
dicapai. Apabila ide pokok ideologi Islam berupa al-tauhid, maka setiap
tindakan sistem pendidikan Islam harus berdasarkan al-tauhid pula.[16]
Berdasarkan
pendekatan filosofis, tujuan pendidikan Islam sejalan dan identik dengan tujuan
ajaran Islam sebagai agama tauhid yang menegaskan, bahwa Tuhan yang unik telah
menciptakan manusia dalam bentuk yang paling baik dengan tujuan menyembah dan
mangabdi kepadaNya. Dengan demikian kedua tujuan dimaksud menyatu dalam hakikat
penciptaan manusia itu sendiri, yaitu menjadikan manusia sebagai pengabdi Allah
yang setia. Secara konsepsional wujud dari pengabdi Allah yang setia tersebut
adalah sosok manusia yang berakhlak mulia(akhlaq al-karimah), beriman dan
bertakwa.[17]
Agama
dalam kehidupan berindividu berfungsi sebagai suatu sistem nilai yang memuat
norma-norma tertentu. Secara umum norma-norma tersebut menjadi kerangka acuan
dalam bersikap dan bertingkah laku, agar sejalan dengan agama yang dianutnya
sebagai sistem nilai agama memiliki arti yang khusus dalam kehidupan individu,
serta dipertahankan sebagai bentuk ciri khas.Dalam pendekatan filsafat,
keyakinan terkait dengan nilai, yaitu sesuatu yang dianggap benar, serta perlu
dipertahankan dan diperjuangkan, komponen dari sebuah sistem nilai. Sistem yang
berisi pedoman berperilaku(code of conduct) begi orang-orang yang menganut
keyakinan tersebut. Kemudian diyakini bahwa pendidikan merupakan upaya yang
dinilai paling efektif dalam menanamkan nilai-nilai ajaran Islam kepada
generasi mudanya. Di sini tampak, bahwa manusia ditempatkan sebagai objek dan
sekaligus subyek pendidikan.
Dalam
pendekatan filsafat pendidikan Islam, pada hakikatnya ajaran Islam adalah
sebuah sistem nilai. Diyakini kebenarannya, serta didalamnya terkandung pedoman
bersikap dan berperilaku yang tersusun secara smpurna dan lengkap. Sumber
ajarannya adalah Al-Qur’an, dan realisasinya adalah terwujud dalam bentuk
akhlak al-karimah(akhlak yang mulia). Semuanya ini telah dilaksnakan secara sempurna
oleh Rasulluah yang oleh Allah nyatakan sebagai sosok teladan paling baik dan
paling sempurna bagi kaum muslimin.
Dengan
demikian sistem nilai yang dimaksudkan oleh filsafat pendidikan Islam identik
dengan sistem nilai sebagai agama. Sistem nilai tersebut terangkum dalam konsep
akhlak al-karimah . Sistem nilai dalam pendekatan filsafat pendidikan Islam mencakup
dua dimensi , yakni pandangan dunia (word view) dan pandangan akhirat (akhirat
view) yang keduanya didasarkan pada pandangan Illahi(Good View). Tegasnya,
sistem nilai dalam kehidupan manuisa dalam pendekatan filsafat pendidikan Islam
terangkum dalam konsep akhlak al-karimah dan berisi misi pemeliharaaan agama,
jiwa, akal, harta dan keturunan.
Moralitas atau etika dalam pandangan Islam sering disebut
sebagai akhlak, Istilah akhlak (khuluk atau character) di ambil dari
al-Qur’an, sedangkan contoh dari akhlak sendiri adalah sebagaimana yang di
contohkan oleh Nabi Muhammad. Moral dan akhlak dalam cakupan pendidikan, di definisikan oleh sebagaian
cendikiawan muslim sebagai adab. Karena salah satu hal yang melekat dalam
konsep pendidikan Islam adalah penanaman adab (the inculcation of adab).Jadi, akhlak
dan moral merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dalam pendidikan.
Karenanya barang siapa yang bertambah ilmunya tetapi moralnya tidak bertambah,
maka dia semakin jauh dari Tuhannya.
Dalam Islam,tujuan yang
dikembangkannya adalah mendidik budi pekerti,oleh karenanya, pendidikan budi
pekerti dan akhlak merupakan jiwa dairi pendidikan Islam. Mencapai suatu akhlak
yang sempurna adalah tujuan sesungguhnya dari proses pendidikan.[18]
Kesimpulannya adalah etika muslim harus
sejalan dan sesuai dengan apa yang dituntun di dalam Al-Qur’an dan Hadis, yaitu
berakhlakul karimah seperti teladan kita Rasullluah Saw. Dan dalam mewujudkan
itu semua diperlukan adanya kerjasama yang baik antara keluarga, masyarakat dan
guru dalam membina etika anak didik agar sesuai dengan yang diharapkan, karena
keluarga, guru dan masyarakat merupakan contoh dan teladan anak didik dalam
beretika. Agar mereka bisa menjadi pribadi muslim yang mempunyai etika yang
baik dan benar sesuia Al-Qur’an dan Hadis yang merupakan pedoman hidup umat
manusia.
Akhlak dan moral merupakan suatu hal yang tidak dapat
dipisahkan dalam pendidikan. Karenanya barang siapa yang bertambah ilmunya
tetapi moralnya tidak bertambah, maka dia semakin jauh dari Tuhannya
3. Orientasi
Pendidikan Indonesia
Indonesia
adalah sebuah negara besar yang memiliki penduduk ratusan jiwa. Indonesia juga
merupakan negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam. Berhubungan
dengan masalah pendidikan di Indonesia semuanya mengacu pengembangan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[19]
Terlepas dari itu semua kita melihat
pendidikan di Indonesia hari ini jauh dari tujuan pendidikan nasional yaitu membentuk
manusia menjadi beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa serta berakhlak
mulia. Dunia pendidikan
kita saat ini, hanya mengiginkan siswa-siswa yang cerdas, kreatif, kritis dan
berprestasi secara akademik, tetapi menepikan masalah akhlak si anak.
Orientasi pendidikan nasional tersebut
terkadang mengalami pergeseran, khususnya ketika mencuatnya isu otonomi
pendidikan. Disatu sisi otonomi pendidikan memberikan keleluasaan bagi sekolah
untuk mengembangkan metode dan sistem pendidikan, tapi disisi lain improvisasi
metode dan sistem itu tidak terkontrol.
Di tingkat dasar dan menengah misalnya,
khususnya yang terletak di pedesaan, sekolah mewajibkan siswinya untuk memakai
jilbab dan pakaian yang sopan, sedangkan sekolah yang berada diperkotaan
umumnya, tidak memiliki penekanan pada aspek ini, tidak heran jika banyak
ditemukan siswi yang tidak berjilbab dan berpakain kurang sopan. Disamping itu, tujuan pendidikan nasional belum
sepenuhnya terimplementasikan dalam kurikulum yang dikembangkan saat ini,
kurikulum tingkat satuan pendidikan rupanya lebih menekankan aspek kognitif
siswa, dengan adanya pembelajaran kontekstual. Krisis moral terjadi
karena penyebabnya salah satunya adalah karena sedikitnya jam pelajaran agama
Islam di sekolah-sekolah umum sehingga anak jauh dari agama dan kurangnya
penanaman akhlak yang sbaik sehingga dampaknya kepada akhlak si anak.
Tujuan dari pendidikan adalah pembinaan akhlak. Semua pelajaran
menurut al-Abrasyi harus ikut mendukung terciptanya akhlak manusia. Selanjutnya
ia mengatakan bahwa pendidikan harus memperdulikan persoalan dunia dan akhirat
secara seimbang. [20]Karena
sesungguhnya hakikat pendidikan menurut kacamata Islam adalah menumbuhkan
manusia dan membentuk kepribadiannya agar menjadi manusia yang sempurna yang
berbudi luhur dan berakhlak mulia, sehingga menjadi pendorong baginya dan
menghalangi mereka dari perbuatan maksiat.[21]
Pendidikan Islam berorientasi kepada duniawi dan ukhrawi,
sedangkan non Islam, orientasinya duniawi semata. Di dalam Islam antara dunia
dan akhirat merupakan kelanjutan dari dunia, bahkan suatu mutu akhirat adalah
konsekuensi dari mutu kehidupan dunia. Segala perbuatan muslim dalam bidang
apapun memiliki kaitan dengan akhirat.[22]
4.
Pengertian
Estetika
Istilah estetika muncul pertama kali pada pertengahan abad ke -18,
melalui seorang filsuf Jerman, Alexander Baumgarten. Sang filsuf memasukkan
estetika sebagai ranah pengetahuan sensoris, yaitu pengetahuan rasa yang
berbeda dari pengetahuan logika, sebelum akhirnya ia sampai kepada penggunaan
istilah tersebut dalam kaitan persepsi atas rasa keindahan, khususnya keindahan
karya seni. Selanjutnya, Emmanuel Kant menggunakan istilah tersebut dengan
menerapkannya untuk menilai keindahan, baik yang terdapat dalam karya seni
maupun dalam alam secara luas.[23]
Estetika berasal dari kata aistheton atau aisthetikos, yang dalam
bahasa Yunani Kuno berarti persepsi atau kemampuan mencerap sesuatu secara
indrawi. Menurut plato, keindahan adalah realitas yang sebenarnya dan tidak
pernah berubah-ubah. Bagi Plato , keindahan itu merupakan pancaran akal ilahi.
Bila yang hakikat ilahi itu menyatakan dirinya atau memancarkan sinarnya pada,
atau dalam realitas penuh, maka itulah keindahan.
Menurut Kant, keindahan itu
merupakan sifat obyek bukan terletak pada subyek. [24]
Estetika adalah
nilai-nilai indah dan jeleknya sesuatu. Perasaan estetis disebut pula sebagai
perasaan keindahan. Perasaan keindahan ini biasa terungkap dalam seni, namun ada
pula yang mengendap dalam diri menjadi cinta tanpa pamrih.
Selanjutnya, nilai baik sebanding dengan nilai
indah, tetapi kata” indah” lebih sering dikenakan pada seni, sedangkan “baik”
pada perbuatan. Di dalam kehidupan, indah lebih berpengaruh ketimbang baik.
Orang lebih tertarik pada rupa ketimbang pada tingkah laku. Orang yang tingkah
lakunya baik(etika), tetapi kurang indah(estetika), akan dipilih belakangan,
yang dipilih lebih dulu adalah orang yang indah, sekalipun kurang baik.[25]
5. Filsafat
Pendidikan Islam dan Estetika Pendidikan
Adapun
yang mendasari hubungan antara filsafat pendidikan Islam dan estetika
pendidikan adalah lebih menitik
beratkan kepada predikat keindahan yang diberikan pada hasil seni. Dalam dunia
pendidikan sebagaimana diungkapkan oleh Randall dan Buchler mengemukakanadatigainterpretasitentanghakikatseni:
1.Senisebagaipenebusanterhadaprealitas,selainpengalaman
2.Senisebagaialatkesenangan
3.Seni sebagai ekspresi yang sebenarnya tentang pengalaman.
1.Senisebagaipenebusanterhadaprealitas,selainpengalaman
2.Senisebagaialatkesenangan
3.Seni sebagai ekspresi yang sebenarnya tentang pengalaman.
Namun, lebih jauh dari itu, maka dalam dunia
pendidikan hendaklah nilai estetika menjadi patokan penting dalam proses
pengembagan pendidikan yakni dengan menggunakan pendekatan estetis-moral,
dimana setiap persoalan pendidikan Islam coba dilihat dari perspektif yang
mengikut sertakan kepentingan masing-masing pihak, baik itu siswa, guru,
pemerintah, pendidik serta masyarakat luas. Ini berarti pendidikan Islam
diorientasikan pada upaya menciptakan suatu kepribadian yang kreatif, berseni
(sesuai dengan Islam).
Pendidikan
yang di dalamnya mengandung nilai-nilai estetika,akan mampu memberikan warna
tersendiri bagi pelaku pendidikan.
BAB III
KESIMPULAN
1)
filsafat pendidikan Islam pada hakikatnya adalah
konsep berfikir tentang kependidikan yang bersumber atau berlandaskan
ajaran-ajaran agama Islam tentang hakikat kemampuan manusia untuk dapat dibina
dan dikembangkan serta dibimbing menjadi manusia muslim yang seluruh pribadinya
dijiwai oleh ajaran Islam
2)
Aksiologi berasal dari kata axios dan logos. Axios artinya
nilai atau sesuatu yang berharga, logos artinya akal, teori. Aksiologi
merupakan salah satu cabang filsafat yang ketiga membahas tentang nilai (value)
3)
Etika pada umumnya diidentikkan dengan moral (atau
moralitas). Namun, meskipun sama terkait dengan baik buruknya tindakan manusia,
etika dan moral memiliki perbedaan pengertian. Secara singkat, jika moral lebih
condong kepada pengertian “nilai baik dan buruk dari setiap perbuatan manusia
itu sendiri”, maka etika berarti “ilmu yang mempelajari tentang baik dan
buruk”. Jadi, bisa dikatakan, etika berfungsi sebagai teori dari perbuatan baik
dan buruk(ethics atau ‘ilm al-akhlaq), dan moral (akhlaq) adalah praktiknya.
Dalam disiplin filsafat, terkadang etika disamakan dengan filsafat moral
4) Indonesia
adalah sebuah negara besar yang memiliki penduduk ratusan jiwa. Indonesia juga
merupakan negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam. Berhubungan
dengan masalah pendidikan di Indonesia semuanya mengacu pengembangan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
5)
Estetika
berasal dari kata aistheton atau aisthetikos, yang dalam bahasa Yunani Kuno
berarti persepsi atau kemampuan mencerap sesuatu secara indrawi. Menurut plato,
keindahan adalah realitas yang sebenarnya dan tidak pernah berubah-ubah. Bagi
Plato , keindahan itu merupakan pancaran akal ilahi. Bila yang hakikat ilahi
itu menyatakan dirinya atau memancarkan sinarnya pada, atau dalam realitas
penuh, maka itulah keindahan
6) Akhlak dan moral merupakan suatu hal yang tidak dapat
dipisahkan dalam pendidikan. Karenanya barang siapa yang bertambah ilmunya
tetapi moralnya tidak bertambah, maka dia semakin jauh dari Tuhannya
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata,Filsafat Pendidikan Islam,Cet I(Jakarta:Logos
Wacana Ilmu)1997
Acmadi,Ideologi Pendidikan Islam,Cet
I(Yogyakarta:Pustaka Pelajar)2005
Burhanuddin
salam,Etika Sosial,(Jakarta:PT Rineka
Cipta)1997
Rizal
Mustansyir M.Hum.Filsafat Ilmu,Cet III(Yogyakarta:Pustaka
Pelajar)2003
M.Amin Abdullah, Antara Al-Ghazali dan Kant:Filsafat etika Islam,Cet
II(Bandung:Mizan)hlm
2002
Murtadha Muthahhari,filsafat Moral Islam,Cet
I(Jakarta:Al-Huda)2004
Muhammad
Ar,Pendidikan di Alaf Baru,Cet I(Jogjakarta:Prismasophie
Press)2003
Oliver Leaman,Pengantar Filsafat Islam:Sebuah PendekataTematis,CetII(Bandung:Mizan)2002
Sjarkawi,Pembentukan Kepribadian Anak,Cet
I(Jakarta:PT Bumu Aksara)2006
Sehat
Sultoni Dalimunthe,Filsafat Ilmu,Cet
I,(Depok:Indie Publishing)2011
Juhaya
S.Praja,Aliran-aliran Filsafat Dan Etika,
(Bandung:Yayasan Piara)1997
Muhaimin,Nuansa Baru pendidikan Islam,(Jakarta:Raja
Grafindo persada)2006
Uyoh
Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan,(
Bandung. Penerbit Alfabeta CV,2007)
Ramayulis,Ilmu Pendidikan Islam,Cet
III(Jakarta:Kalam Mulia)2002
Suwendi,Sejarah Pemikiran Pendidikan Islam(Jakarta:PT
Raja Grafindo Persada,2004)
[1]
Muhaimin,Nuansa Baru pendidikan
Islam,(Jakarta:Raja Grafindo persada,2006)h.15
[2] Muhaimin,Nuansa Baru pendidikan…………………….hlm 16
[3] Abuddin Nata,Filsafat
Pendidikan Islam,Cet I(Jakarta:Logos Wacana Ilmu,1997)h.1
[4] Abuddin Nata,Filsafat
Pendidikan……………………hlm 4
[5] Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan,( Bandung.
Penerbit Alfabeta CV,2007)h.71-72.
[6] Abuddin Nata,Filsafat
Pendidikan……………………hlm13
[7] Rizal Mustansyir M.Hum.Filsafat Ilmu,Cet III(Yogyakarta:Pustaka
Pelajar)hlm 26,2003
[8] M.Amin
Abdullah, Antara Al-Ghazali dan Kant:Filsafat etika Islam,Cet
II(Bandung:Mizan)hlm 15,2002
[9]
Burhanuddin salam,Etika Sosial,(Jakarta:PT Rineka
Cipta)hlm 3
[10] M.Amin
Abdullah, Antara Al-Ghazali dan Kant:Filsafat…………………………..hlm 17
[11] M.Amin
Abdullah, Antara Al-Ghazali dan Kant:Filsafat…………………………..hlm 17
[12] Murtadha
Muthahhari,filsafat Moral Islam,Cet I(Jakarta:Al-Huda)hlm 58,2004
[13] Oliver Leaman,Pengantar
Filsafat Islam:Sebuah Pendekatan Tematis,Cet II(Bandung:Mizan)hlm 127 ,2002
[14] http://alcayet.blogspot.com/2012/02/etika-imam-al-ghazali-selayang-pandang.html,di akses pada tanggal 30 maret 2013
,pada pukul 10.00 .
[15]Sjarkawi,Pembentukan Kepribadian Anak,Cet I(Jakarta:PT Bumu Aksara)hlm
36,2006
[16] Ramayulis,Ilmu Pendidikan Islam,Cet III(Jakarta:Kalam Mulia)h.5
[17] Jalaludin, Filsafat Pendidikan Islam(Jakarta:Kalam Mulia)hlm 119 2011
[18]
Suwendi,Sejarah Pemikiran Pendidikan Islam(Jakarta:PT
Raja Grafindo Persada,2004)h.16
[19]
http://birokrasi.kompasiana.com/2011/01/04/orientasi-pendidikan-di-indonesia-harus-dibenahi-330279.html
[20]
Sehat Sultoni Dalimunthe,Filsafat Ilmu,Cet
I,(Depok:Indie Publishing)h.121
[21]
Muhammad Ar,Pendidikan di Alaf Baru,Cet
I(Jogjakarta:Prismasophie Press)h.28
[22]
Ramayulis,Ilmu Pendidikan……………………….h.6
[23] Sjarkawi,Pembentukan Kepribadian…………………hlm 33
[24] Juhaya S.Praja,Aliran-aliran Filsafat Dan Etika, (Bandung:Yayasan
Piara) hlm 48,1997
[25] Ahmad tafsir,Filsafat Umum(Bandung:PT Remaja Rosdakarya,2004)h.40
Pendidikan etika sangat penting dipelajari dalam bidang apapun juga karena pendidikan ini akan membentuk moral dan budi pekerti sesorang. Sering orang tua mengabaikan pendidikan yang satu ini dan selalu lebih mendewakan prestasi dari pendidikan budi pekerti. Berbagai bidang mempunyai program sendiri untuk kurikulum pelajaran ini termasuk Pendidikan etika dalam seni
BalasHapus