Rabu, 23 Januari 2013

akhwat sejati ^-^kekasih Allah: keep my heart^-^akhi,,,

akhwat sejati ^-^kekasih Allah: keep my heart^-^akhi,,,: Bismillah,,,, malam ne,,,,terasa sepi,,,,ya Rabb,,,, ada apa sebenarnya,,,,dihatiku,,,,, rasa ini yang belum sepantasnya diluapkan...

keep my heart^-^akhi,,,






Bismillah,,,,
malam ne,,,,terasa sepi,,,,ya Rabb,,,,
ada apa sebenarnya,,,,dihatiku,,,,,
rasa ini yang belum sepantasnya diluapkan,,,,,
harus menunggu waktu yang tepat,tapi sangat berat rasanya,,,
ketika akhwat jatuh cinta,,,,

semuanya,,,menjadi serba berbeda,,,,
sebenarnya hati ini sangat menyanyanginya,,,,
namun,,,loem saatnya,,,,
ukhti,,,,

terkadang jiwa ini merasa hampa dan gelisah ketika jauh darinya,,,
ya Rabb,,,,,
ana salah menempatkan rasa ini,,,,
loem waktunya,,,,

menunggu,,,,
iya ,menunggu saat itu tiba,,,,

mungkin itu yang terbaik yang harus aku lakukan saat ini,,,
keep my heart ya akhi,,,,,
hingga waktunya tiba






kamar bawah,,,,
asrama putri almanar,,,,
malam kamis januari '13






Selasa, 22 Januari 2013

akhwat sejati: tarekat modern

akhwat sejati: tarekat modern: BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Masalah Zaman sekarang disebut zaman modern, ditandai dengan kemakmuran material, kemajuan...

akhwat sejati: Mengenang Syeikh Abdurrauf As-Singkili

akhwat sejati: Mengenang Syeikh Abdurrauf As-Singkili: Jurnal: Menjelajah Pemikiran Tasauf Syathariyah Syeikh Abdurrauf Singkel Oleh Sari Masyita Abstrak : Abdurrauf Singkel merupak...

Mengenang Syeikh Abdurrauf As-Singkili

Jurnal:


Menjelajah Pemikiran Tasauf Syathariyah
Syeikh Abdurrauf Singkel
Oleh
Sari Masyita
Abstrak : Abdurrauf Singkel merupakan tokoh pemikir dan ulama terkemuka, ia telah   melahirkan karya-karya sastra yang merupakan kekayaan intelektual muslim Indonesia yang berharga. Karya-karya sastra yang berbentuk suluk dari para pemikir dan ulama Islam terdahulu sampai saat ini, naskah aslinya yang berupa manuskrip atau tulisan tangan asli masih bisa dilihat pada perpustakaan-perpustakaan perguruan tinggi di negeri Belanda. Abdurrauf Singkel dikenal oleh masyarakat luas di sumatera. Ia mengungkapkan wujud yang hakiki hanya Allah., sedangkan alam ciptaanNya adalah bukti keberadaan Tuhan dan kekuasaanNya. Abdurrauf Al-Singkili merupakan salah satu ulama aceh yang pertama sekali mengembangkan paham tariqat Syathariah di Indonesia. Banyak sekali murid-muridnya tidak hanya dari Aceh melainkan dari berbagai daerah di tanah air. Saat itu Aceh  sedang menjadi tempat persinggahan para jemaah haji yang hendak berangkat ke Mekkah. Ketika singgah di Aceh inilah tidak sedikit jamaah haji yang kemudian belajar agama dan tasauf. Di antara murid-muridnya yang menjadi ulama terkenal adalah Syekh Burhanuddin Ulakan.
A.    Pendahuluan
Abdurrauf al-Singkili merupakan seorang ulama besar dan juga termasuk ke dalam salah satu dari seratus tokoh Islam yang paling berpengaruh di Indonesia. Beliau merupakan keturunan Arab. Dan beliau merupakan tokoh tasawuf dari Aceh yang pertama sekali mengembankan paham tariqat Syathariah di Indonesia.
Tidak hanya di Aceh melainkan dari berbagai daerah di Indonesia murid-muridnya berasal. Ajarannya juga berkembang di pulau Jawa. Simuh(1960:9) mencatat bahwa penyebaran Tariqat Syathariah di jawa dikembangkan oleh muridnya Abdulmuhyi(Pamijahan) yang dikeramatkan di daerah Priangan. Dari daerah ini Tariqat Syathariah kemudian berkembang subur di Cirebon yang menjadi pusat kesultanan. Di Cirebon pula kemudian lahir karya-karya dalam bentuk serat suluk yang isinya mengandung ajaran tasawuf wujudiyah atau martabat tujuh. Dari pengaruh Cirebon ini kemudian lahir pujangga-pujangga Surakarta mengubah karya Serat Suluk yang kaya akan ajaran etika dan tasawuf.[1]
Abdurrauf begitu lama menuntut ilmu di Arab, kemudian ketika beliau kembali ke Aceh, Beliau diberi kepercayaan oleh ratu untuk memegang jabatan sebagai Qadhi Malik al-Adil atau mufti kerajaan Aceh. Jabatan mufti yang dipegangAbdurrauf memberikan kesempatan baginya untuk mengekspresikan pemikiran dari pemahaman keagamaannya. Peluang menyampaikan fikiran-fikiran itu ia mulai dari tulisan, antara lain kitabnya yang dikenal luas sampai sekarang mulai dari kitab fiqih sampai tasawuf.
Kewibawaan Abdurrauf sebagai mufti juga menjadi modal baginya untuk meredam konflik paham keagamaan antara paham wujudiyah dengan syuhudiyah. Pendekatan yang digunakan Abdurrauf adalah mendamaikan antara paham-paham yang bertentangan itu, hal itu sejalan dengan kecendrungan jaringan ulama abad 17 dan 18 yang berupaya saling mendekatkan antara ulama yang berorientasi pada syariat dan para sufi. Kenyataan konflik antar dua kelompok cendikiawan muslim ini berkurang dan saling mendekat sebagaimana yang diajarkan al-Qushasi dan al-Ghazali. Diskursus rekonsiliasi syariah dan tasawuf yang dikembangkan oleh Abdurrauf Singkel dapat diamati dari tiga pilar pemikirannya dalam bidang tasawuf, yang kemudian secara signifikan menjadi tema utama pula dalam pemikiran murid-murid di belakangnya, termasuk di dalamnya Syeikh Burhanuddin Ulakan. Ketiga pokok pikiran tersebut adalah Ketuhanan dan hubungan dengan alam, Insan Kamil dan jalan Menuju Tuhan(Tariqat).[2]
B.     Biografi dan Hasil Karya Abdurrauf Al-Singkili
Abdurrauf, lahir di Aceh tahun,1024 H/1615 M .Nama aslinya adalah Aminuddin Abdurrauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri al-Singkili. Ia lahir di sebuah kota kecil di pantai barat pulau Sumatera. Ayahnya berasal dari keluarga ulama. Ayahnya Syeikh Ali Al-Fansuri adalah seorang Arab yang mengawini seorang wanita setempat dari fansur(Barus)dan bertempat tinggal di Singkel. Ali Hasyimi (1984) mengemukakan merujuk kitab yang memuat silsilah dari riwayat hidup Syeikh Abdurrauf Singkel bahwa ia adalah anak pertama dari pada Syekh Al-Fansuri. Abdurrauf lahir sesudah tiga tahun sultan Sayyid al-Mukammil menaiki tahta.
Abdurrauf berangkat ke Timur Tenggah untuk belajar agama, ia cukup lama belajar di Arab yaitu selama 19 tahun. Ia mengunjungi pusat-pusat pendidikan dan pengajaran Islam di sepanjang perjalanan haji antara Yaman dan Mekkah. Kemudian ia bermukim di Mekkah untuk memperdalam ajaran agama seperti al-qur’an dan hadis, fiqih dan tafsir dan secara khusus mempelajari tasawuf. Bersama dengan kawannya Syeikh Abdullah Arief yang lebih dikenal dengan Syeikh Madinah atau disebut juga dengan Tuanku Madinah di Tapakis, Pariaman. Ia belajar tariqat pada Syeikh Ahmad Qushasi. Abdurrauf menceritakan tentang riwayat hidupnya dan guru-gurunya di akhir bukunya Umdatul Muhtajin. Dijelaskan pula bahwa dia sangat memuji gurunya Ahmad Qushasi, sebgai pembimbing spritual dan guru di jalan Allah. Dia kemudian memperoleh ijazah dari guru tersebut, sehingga berhak untuk mengajarkan tariqat Syathariah kepada murid-muridnya. Syathariah adalah sebuah aliran tariqat yang muncul pertama sekali di India pada abad 15, nama tariqat ini dinisbatkan pada tokoh pertama yang mempopulerkannya yaitu Abdullah asy-Syatar. Tariqat ini bertujuan untuk membangkitkan kesadaran terhadap Allah SWT dalam batin manusia. Hal itu bisa dicapai melalui pengamalan beberapa macam zikir.
Tariqat Syatariah ini sangat besar pengaruhnya di dunia Islam termasuk di Indonesia. Menurut Aan Marie Scimmel yang sangat otoriatif dalam mengkaji sufisme, setelah membaca penafsiran sufistik Abdurrauf dalam karyanya Daqaid al-huruf, Scimmel menyimpulkan, sebagaimana diutarakan Azyumardi Azra bahwa Abdurrauf sangat sophisticated dalam menjelaskan dan menginterpretasikan wihdatul wujud dalam kerangka syariah. Barangkali ada benarnya bila kemudian paham tawasuf Syathariah disebut dengan wihdatus suhul., melihat kemudahan konsepnya.
Abdurrauf Singkel kembali ke Aceh sekitar tahun 1662 M,dan setibanya di kampungnya segera mengajarkan dan mengembangkan Tariqat Syathariah di Indonesia. Abdurrauf dinilai sebagai tokoh yang cukup berperan dalam mewarnai sejarah tasawuf Islam di Indonesia pada abad k 17. Pada sekitar tahun 1643, saat kesultanan Aceh dipimpin oleh sultanah(ratu) Safituddin Tajul Alam (1641-1675),karena kedudukannya itu sering disebut dengan Syeikh Kuala di Aceh saat menjadi mufti tersebut, dengan dukungan dari pihak kerajaan, ia berhasil menghapus ajaran Salik Buta, tariqat yang sudah ada sebelumnya dalam masyarakat Aceh.
Abdurrauf memiliki sekitar 21 karya tertulis yang terdiri dari 1 kitab tafsir, 2 kitab hadis, 3 kitab fiqh dan kitab-kitab tasawuf. Kitab tafsirnya yang berjudul Turjuman al-Mustafid(Terjemahan pemberi faedah) merupakan kitab tafsir pertama yang dihasilkan di Indonesia yang berbahasa Melayu. Sedangkan kitab fiqh yang ditulisnya atas permintaan Sultanah Safiatuddin yang memuat tentang fiqh mazhab Syafi’I sebagai panduan bagi para kadi, ia menulis Miraat at-Tullab fi Tashil Marifatul Ahkam as-syariyyah li malik al-Wahhab(Cermin bagi Penuntut Ilmu Fiqh, untuk memudahkan mengenal segala hukum Syarak Allah), buku ini merupakan buku karangannya yang terkenal, yang disadurnya dari kitab Fathul Wahhab.[3] Dalam bidang tafsir ia menulis Tarjuman al-Mustafid,tafsir pertama dalam bahasa Melayu. Dalam bidang tasawuf ia menulis Bayan al-Tajali(keterangan tentang Tajali),Kifayatul Muhtajin(Pencukup Para Pengemban Hayat), Daqaid al-Huruf(Detail-detail Huruf) dan Umdah al-Muhtajin(Tiang orang-orang yang memerlukan). Buku ini terdiri dari tujuh bab, yang memuat tentang zikir, sifat-sifat Allah dan Rasulnya dan asal-usul ajaran mistik dalam Islam. Tiga kitab terakhir menjadi rujukan utama dalam kajian tariqat Syathariah yang disadur oleh syeikh Burhanuddin Ulakan kemudian diwariskan secara turun-temurun sampai sekarang masih dalam bentuk manuskrip.
C.     Pemikiran Abdurrauf Al-Singkili
Syathariah sebagai sebuah aliran tasawuf, dalam perkembangannya di Indonesia menghadapi dua kutub aliran tasawuf yang berbeda sebagai warisan dari ulama terdahulu Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani dan Nuruddin ar-Raniri. Dalam kondisi semacam itu, aliran tasawuf Syathariah menjadi penyejuk bagi perbedaan tajam antara aliran wujudiyyah dan aliran syuhudiyah.
Adapun pokok-pokok pemikiran tasawuf Abdurrauf adalah yang pertama berupa Ketuhanan dan hubungannya dengan alam. Dalam memahami hakekat keberadaan Tuhan, Abdurrauf, menganut paham bahwa satu-satunya wujud hakiki adanya Allah. Alam ciptaanNya adalah  wujud bayangannya yakni bayangan dari wujud hakiki. Walaupun wujud hakiki(Tuhan) berbeda dengan wujud bayangan (alam) namun terdapat kesamaan antara kedua wujud tersebut. Tuhan melakukan tajalli (penampakan diri dalam bentuk alam). Sifat-sifat Tuhan secara tidak lansung tampak pada manusia. Abdurrauf Singkel dikenal oleh masyarakat luas di Sumatera. Ia mengungkapkan wujud yang hakiki hanya Allah, sedangkan alam ciptaanNya adalah bukti keberadaan Tuhan dan kekuasaanNya.Pada alam yang tampak realitas ini Tuhan menampakkan diriNya(Tajllai)secara tidak lansung. Pada manusia, sifat-sifat Tuhan secara lansung menampakkan diri begitu sempurna, dan ralatif yang paling sempurna(Insan Kamil0. Sedangkan bagaimana hubungan Tuhan dengan alam adalah ketransedennya Abdurrauf menjelaskan. Sebelum Tuhan menciptakan alam raya(al-alam). Dia selalu memikirkan (bertaakul) tentang dirinya. Yang mengakibatkan terciptanya Nur Muhammad dari Nur Muhammad itu Tuhan menciptakan pola-pola dasar(al-ayan ast-Tsabitah),yaitu potensi dari semua alam raya ,yang menjadi sumber dari pola dasar luar(al-ayan Kharijiyyah) yaitu ciptaan dalam bentuk konkritnya.
Abdurrauf yang sering disebut dengan al-Singkili juga menyimpulkan meskipun al-Ayan al-Kharijiyah merupakan emanasi wujud mutlak, mereka adalah berbeda dari Tuhan itu sendiri. Hubungan keduanya seperti tangan dan bayangan .Meskipun tangan tidak dapat dipisahkan dari bayangannya, yang terakhir itu tidak sama dengan yang pertama . Sedangkan untuk mendapatkan hubungan lansung dengan Tuhan, orang mesti melalui Kasyf. Akal manusia tidak mungkin bisa memahami Tuhan. Maka Kasyf adalah satu-satunya pintu yang bisa dicapai dengan memurnikan tauhid melalui pengajian tariqat syathariah dan mengamalkan zikir serta ibadah dengan kaifiyat sendiri(Azyumardi Azra)
Pemikiran di atas memberikan kesimpulan pada kita bahwa Abdurrauf adalah tokoh penghubung antara paham wujudiyah mulhid, yang diwakili oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani, dan faham syuhudiyah yang diwakili oleh Nuruddin ar-Raniri. Duski Samad(2001:46)menyebutnya merupakan sintesa dari mistiko-filosofis Ibnu Arabi dan al-Ghazali yang memusatkan perhatian pada upaya pencapaian ma’rifah mengenai Allah secara lansung tanpa hijab melalui pensucian hati dan pengahayatan makna ibadah.
Kedua, Insan Kamil adalah sosok manusia ideal. Dalam wacana tasawuf konsep insan kamil lebih mengacu kepada hakikat makhluk dan hubungannya dengan khaliq(Tuhannya). Dalam literature tasawuf hakikat manusia dan hubungannya dengan Tuhan dapat dikelompokkan kepada dua bentuk pemikiran,yaitu konsep yang diperkenalkan al-Hallaj, menurutnya manusia adalah penampakan cinta Tuhan yang azali kepada esensiNya yang tak mungkin disifatkan itu. Oleh karenya Adam diciptakan Tuhan dalam bentuk rupaNya, mencerminkan segala sifat dan nama-namaNya sehingga ia adalah Dia dan konsep  inilah yang dikemas oleh Abdul Karim al-Jilli(826/1422)dalam sebuah karyanya yang berjudul al-insan al-kamil fi al awail wal-akhir.
Ketiga, Jalan kepada Tuhan(Tariqat).Kecendrungan rekonsiliasi syariat dan tasawuf dalam pemikiran al-Singkili sangat kentara sekali ketia ia menjelaskan pemanduan tauhid dan dzikir. Tauhid itu memiliki empat martabat,yaitu tauhidul uluhiyyah, tauhidus sifat,tauhid Zat dan Tauhid Afaal.
Begitu halnya dengan zikir. Zikir diperlukan sebagai jalan untuk menuntun intuisi (Kasyf) guna bertemu dengan Tuhan. Zikir itu dimaksudkan untuk mendapatkan al-mawat al-ikhtiyari (kematian sukarela) atau disebut juga kematian ideasional. Syeikh Abdurrauf menuliskan syarat-syarat yang mesti dilalui sebelum memasuki zikir agar ma’rifah segera didapatkan antara lain:
1.      Sebelum zikir harus taubat dari kemaksiatan
2.      Mandi dan berwudhuk
3.      Menggunakan pakaian bersih dan harum-haruman
4.      Membubuhkan haruman pada tempat zikir
5.      Memilih tempat gelap untuk tempat zikir
6.      Bersila dan Menghadap kiblat
7.      Meletakkan kedua telapak tangan di atas dua paha
8.      Memejamkan mata dalam zikir
9.      Merupakan wajah Syekih (Rabitah)dalam zikir minta bantuan Syeikh dengan hati mulia
10.  Mengiktikadkan minta tolong pada nabi Muhammad
11.  Selalu menetapkan hati pada Allah
12.  Iklas mengahadap Allah
13.  Menyebut la ilaha illaallah dengan takzim dengan menarik kepala dari lambung kiri dibawa ke kanan tempatnya hati
14.  Mengahdirkan makna zikir.La Mabuda
15.  Menafikan selain Allah
16.  Selalu bermujahadah dan biriyadhah(sunguh-sungguh dalam ibadah)
Penekanan pada zikir untuk mendapatkan ma’rifah ini diulas panjang di dalam kitabnya Umdah al-Muhtajin.

D.    Kesimpulan
Syeikh Abdurrauf al-Singkili merupakan salah satu ulama aceh yang sangat terkenal dan merupakan tokoh tasawuf yang dikenal membawa aliran tariqat Syathariah di seluruh Indonesia.[4] Beliau merupakan keturunan Arab, Syathariah adalah sebuah aliran tariqat yang muncul pertama sekali di India pada abad 15, nama tariqat ini dinisbatkan pada tokoh pertama yang mempopulerkannya yaitu Abdullah asy-Syatar. Tariqat ini bertujuan untuk membangkitkan kesadaran terhadap Allah SWT dalam batin manusia. Hal itu bisa dicapai melalui pengamalan beberapa macam zikir. Adapun Ketiga pokok pikiran Syeikh Abdurrauf  adalah Ketuhanan dan hubungan dengan alam, Insan Kamil dan jalan Menuju Tuhan(Tariqat).
E.     Daftar Pustaka

Shalahuddin Hamid,100 Tokoh Islam Paling Berpengaruh di Indonesia,Cet I(Jakarta:Intimedia Ciptanusantara)2003

Tim Penulis IAIN Ar-Raniry,Ensiklopedi Pemikiran Ulama Aceh(Banda Aceh:Ar-Raniry Press)2005

Hawash Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasauf dan Tokoh-Tokohnya Di Nusantara(Surabaya:Usana Offset Printing)





[1] Shalahuddin Hamid,100 Tokoh Islam Paling Berpengaruh di Indonesia,Cet I(Jakarta:Intimedia Ciptanusantara) hlm 56
[2] Shalahuddin Hamid,100 Tokoh Islam Paling………hlm 57
[3] Tim Penulis IAIN Ar-Raniry,Ensiklopedi Pemikiran Ulama Aceh(Banda Aceh:Ar-Raniry Press)
[4] Hawash Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasauf dan Tokoh-Tokohnya Di Nusantara(Surabaya:Usana Offset Printing)hlm 49

akhwat sejati: Quraish Shihab dan Pemikirannya tentang ayat-ayat ...

akhwat sejati: Quraish Shihab dan Pemikirannya tentang ayat-ayat ...: BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Prof.Dr. Quraish Shihab,MA merupakan salah satu mufassir di Indonesia yang sangat terkenal...

Quraish Shihab dan Pemikirannya tentang ayat-ayat Hijab


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Prof.Dr. Quraish Shihab,MA merupakan salah satu mufassir di Indonesia yang sangat terkenal dengan berbagai hasil karyanya seperti “Tafsir Al-Misbah” dan buku-bukunya yang lain seperti “wawasan Al-Qur’an,Lentera Hati dan Membumikan Al-Qur’an serta ada beberapa buku-buku yang lainnya.
 Terdapat banyak cara yang ditempuh oleh pakar Al-Qur’an dalam menafsirkan ayat-ayat Allah, ada yang menyajikannya sesuai urutan ayat-ayat sebagaimana termaktub dalam surat Al-Fatihah hingga ayat terakhir , kemudian beralih ke ayat pertama sutar kedua(Al-baqarah) hingga berakhir pula, dan demikian seterusnya. Ada juga yang memilih topik tertentu kemudian menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan topik tersebut, dimanapun ayat itu ia temukan.
Berbicara tentang Quraish Shihab, beliau menafsirkan Al-Qur’an dengan mengunakan metode maudhui(tematik). Menerapkan metode Maudhu’i memerlukan keahlian akademis, karena itu kehati-hatian dan ketekunan sangat diperlukan.
Di dalam makalah ini penulis ingin memaparkan tentang pemikiran Quraish Shihab dalam menafsirkan  ayat-ayat hijab  yang disinyalir banyak kalangan amat kontroversial. Oleh karena itu sekiranya kita harus mengetahui latar belakang Quraish shihab dan caranya dalam menafsirkan ayat-ayat tentang hijab yang menimbulkan terjadinya perbedaan pemahaman denga beberapa mufassir lainnya.

B.     Rumusan Masalah
Penulis  merumuskan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini ke dalam dua poin besar,yaitu:
a.        Bagaimana biografi Quraish shihab!
b.       Bagaimana deskripsi M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah tentang batas aurat wanita!
c.       Gagasan dan Pemikiran Pendidikan Menurut Quraish Shihab!

C.     Metode Pembahasan
Penulis menegaskan bahwa penelitian yang penulis lakukan tentang batas aurat wanita dalam menurut pemikiran Quraish shihab merupakan penelitian kepustakaan (library research), dengan menggunakan metode analisis deskriptif (descriptive analysis), dan analisis eksplanatori (explanatory analysis), dengan pendekatan historis.
Kami melihat bahwa penulis tesis belum mampu menggunakan metode analisis eksplanatori secara maksimal dalam penulisannya, sehingga lebih cenderung hanya sebatas deskripsi teks saja, dan kurang mendalam pembahasannya.
Metode analisis eksplanatori adalah suatu analisis yang berfungsi memberi penjelasan yang lebih mendalam daripada sekedar mendeskripsikan makna sebuah teks. Sedangkan metode analisis deskriptif adalah pemaparan apa adanya terhadap apa yang dimaksud oleh suatu teks dengan cara memparafrasekan dengan bahasa peneliti.
D.    Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan pembahasan dari makalah ini adalah untuk mengenal biografi Quraish Shihab secara detail,dan untuk mengetahui pemikirannya tentang menafsirkan ayat-ayat tentang hijab dan juga pemikirannya tentang pendidikan yang berlandaskan Al-Qur’an.








BAB II
                                              PEMBAHASAN
A.    Biografi Singkat Quraish shihab
Nama lengkapnya adalah Muhammad Quraish Shihab. Ia lahir tanggal 16 Februari 1944 di Rapang, Sulawesi Selatan. Ia berasal dari keluarga keturunan Arab yang terpelajar. Quraish Shihab adalah putra Prof. KH Abdurrahman Shihab, seorang ulama dan guru besar di bidang tafsir.  kecintaan terhadap bidang studi tafsir karena ayahnya yang sering mengajak anaknya duduk bersama. Pada saat seperti inilah sang ayah menyampaikan nasihat yang kebanyakan berupa ayat Al-Qur’an.[1]
Sebagai putra dari seorang guru besar, Quraish Shihab mendapatkan motivasi awal dan benih kecintaan terhadap bidang studi tafsir dari ayahnya yang sering mengajak anak-anaknya duduk bersama. Pada saat-saat seperti inilah sang ayah menyampaikan nasihatnya yang kebanyakan berupa ayat-ayat al-Qur’an. Quraish kecil telah menjalani pergumulan dan kecintaan terhadap al-Qur’an sejak umur 6-7 tahun. Ia harus mengikuti pengajian al-Qur’an yang diadakan oleh ayahnya sendiri. Selain menyuruh membaca al-Qur’an, ayahnya juga menguraikan secara sepintas kisah-kisah dalam al-Qur’an. Di sinilah, benih-benih kecintaannya kepada al-Qur’an mulai tumbuh.
Pendidikan formalnya dimulai dari sekolah dasar di Ujungpandang. Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di Ujung Pandang, dia melanjutkan pendidikan menengahnya di Malang, sambil “nyantri” di pondok pesantren Darul hadis Al-Fiqihiyyah.
Pada tahun 1958, dia berangkat ke Kairo, Mesir, dan diterima di kelas II Tsanawiyyah Al-Azhar. Pada tahun 1967, dia meraih gelar Lc (SI) pada fakultas Ushuluddin jurusan Tafsir Hadis Universitas Al-Azhar. Kemudian dia melanjutkan pendidikannya di fakultas yang sama pada tahun 1969 meraih gelar MA untuk spesialisasi bidang tafsir al-Qur’an dengan tesis yang berjudul Al-I’jaz Al-Tasyri’iy Al-Qur’an Al-Karim. [2]
Sekembalinya ke Ujung Pandang, Quraish Shihab dipercayakan untuk menjabat Wakil Rektor bidang Akademis dan Kemahasiswaan pada IAIN Alauddin, Ujung Pandang. Selain itu, dia juga diserahi jabatan-jabatan lain, baik di dalam kampus seperti Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Wilayah VII Indonesia Bagian Timur), maupun di luar kampus seperti Pembantu Pimpinan Kepolisian Indonesia Timur dalam bidang pembinaan mental.
 Selama di Ujung Pandang ini, dia juga sempat melakukan berbagai penelitian; antara lain, penelitian dengan tema "Penerapan Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia Timur" (1975) dan "Masalah Wakaf Sulawesi Selatan" (1978).
Pada tahun 1980, Quraish Shihab kembali ke Kairo melanjutkan pendidikannya di almamaternya yang lama, Universitas Al-Azhar. Pada tahun 1982, dengan Disertasi berjudul Nazhm Al-Durar Li Al-Biqa’I, Tahqiq wa Dirasah, dia berhasil meraih gelar Doktor dalam ilmu-ilmu al-Qur’an dengan yudisium Summa Cum Laude disertai penghargaan tingkat I (Mumtaz Ma’a Martabat Al-Syaraf Al-‘Ula).[3]
Sekembalinya ke Indonesia, sejak 1984, Quraish Shihab ditugaskan di Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Pasca-Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Selain itu, di luar kampus, dia juga dipercayakan untuk menduduki berbagai jabatan. Antara lain: Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat (sejak 1984); Anggota Lajnah Pentashih Al-Quran Departemen Agama (sejak 1989); Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (sejak 1989), dan Ketua Lembaga Pengembangan.
Dia juga banyak terlibat dalam beberapa organisasi profesional; antara lain: Pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu Syari'ah; Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; dan Asisten Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Disela-sela kesibukannya itu,dia juga terlibat di dalam berbagai kegiatan ilmiah didalam maupun luar negeri.
Selain itu Quraish Shihab juga aktif dalam kegiatan tulis-menulis. Di surat kabar Pelita pada setiap hari rabu dia menulis dalam rubric “Pelita Hati”. Dia juga mengasuh rubrik Amanah dengan tafsinya yaitu “Tafsir Al-Amanah” dalam majalah dua mingguan yang terbit di Jakarta.[4]

Selain itu dia juga tercatat sebagai anggota Dewan Redaksi majalah Uluimul Qur’an dan Mimbar Ulama, keduanya terbit di Jakarta, Selain kontribusinya untuk berbagai buku suntungan dan jurnal-jurnal ilmiah, hingga kini sudah tiga bukunya diterbitkan , yaitu Tafsir Al-Mannar, Keistimewaan dan Kelemahannya ( Ujung Pandang : IAIN Alauddin, 1987) ; dan Mahkota Tuntunan Ilahi(Tafsir surat Al-fatihah ) (Jakarta: Untagama , 1988).
Dari seluruh karya tulis Quraish Shihab yang dianalisis Kusmana ditemukan kesimpulan bahwa secara umum karakteristik pemikiran keislaman Quraish Shihab adalah bersifat rasional dan moderat. Sifat rasional pemikirannya diabdikan tidak untuk, misalnya, memaksakan agama mengikuti kehendak realitas kontemporer, tetapi lebih mencoba memberikan penjelasan atau signifikansi khazanah agama klasik bagi masyarakat kontemporer atau mengapresiasi kemungkinan pemahaman dan penafsiran baru tetapi dengan sangat menjaga kebaikan tradisi lama.
Beliau juga terkenal sebagai penulis yang sangat produktif lebih dari 20 buku telah lahir di tangannya. Diantaranya yang paling legendaries adalah”membumikan Al-Qur’an,Lentera Hati,Wawasan Al-Qur’an, dan Tafsir Al-Misbah.sosoknya juga sering tampil di berbagai media untuk memberikan siraman ruhani dan intelektual.[5]
Berdasarkan uraian tersebut di atas kita dapat mengatakan bahwa Muhammad Quraish Shihab adalah sarjana Muslim Kontemporer Indonesia yang berhasil tidak hanya dalam karier keilmuwannya, tetapi juga dalam karier social kemasyarakatannya, terutama dalam bidang pemerintahan.

B.     Pemikiran Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat-ayat tentang hijab
1.      Pandangan Ulama Mutaqaddimin dalam menafsirkan ayat-ayat tentang hijab
            Islam adalah agama universal yang memiliki makna menampakkan ketundukan dan   melaksanakan syariah serta menetapi apa saja yang datang dari Rasulullah. Semakna dengan hal ini, Allah juga memerintahkan umat Islam agar masuk ke dalam Islam secara keseluruhan. Yakni, memerintahkan kaum muslimin untuk mengamalkan syariat Islam dan cabang-cabang iman yang begitu banyak jumlah dan ragamnya. Pun mengamalkan apa saja yang diperintahkan danmeninggalkanseluruhyangdilarangsemaksimal
            Namun, dewasa ini banyak nilai-nilai Islam yang ditinggalkan oleh kaum muslimin. Salah satunya adalah dalam masalah jilbab. Hal ini tampak dari banyaknya kaum muslimah yang tidak mempraktikkan syariat ini dalam keseharian mereka. Akibatnya, mereka kehilangan identitas diri sebagai muslimah sehingga sulit dibedakan mana yang muslimah dan non-muslimah.
            Fenomena tersebut bisa disebabkan oleh ketidaktahuan, keraguan, ataupun terbelenggu dalam hawa nafsu. Didalam makalah ini penulis akan memaparkan tentang pemikiran Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat-ayat hijab.
Menyusuri wanita-wanita muslim, pada awal islam di madinah, memakai pakaian yang sama dalam garis besar bentuknya dengan pakaian-pakaian oleh wanita-wanita pada umumunya. Ini termasuk wanita-wanita tunasusila atau hamba sahaya. [6]
Mereka secara umum memakai baju dan kerudung bahkan jilbab tetapi leher mereka mudah terlihat. Dan tidak jarang yang melilitkan jilbab mereka ke belakang .Keadaan semacam itu digunakan oleh orang munafik untuk menganggu wanita-wanita dan termasuk wanita mukminah .Dan ketika mereka di tegur menyangkut gangguannya terhadap mukminah mereka berkata;”kami kira mereka adalah hamba sahaya “.
Ini disebabkan karena ketika itu identitas mereka sebagai wanita mukminah tidak terlihat dengan jelas. Oleh karena hal inilah turunlah surat Al-Ahzab:59 yang berbunyi:
 
“Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.[7]
Jilbab adalah baju kurung yang longgar yang harus dilengkapi dengan kerudung penutup kepala. Kemudian juga di turunkan ayat yang memperjelas lagi cara menutup aurat yang benar yaitu surat An-Nur : 31 yang berbunyi:

            “ Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”[8]
            Larangan menampakkan hiasan yang dikecualikan dalam ayat di atas menyita perhatian beberapa ulama tafsir. Mereka menyatakan bahwa hiasan adalah segala sesuatu yang memperelok , baik pakaian ,emas dan semacamnya.
            Pakar tafsir al-qurthubi dalam tafsirnya mengemukakan bahwa Ulama besar Said bin Jubair ,Atha dan Al-Auzaiy berpendapat bahwa yang boleh dilihat hanyalah wajah wanita,kedua telapak tangan dan busana yang di pakainya.
Syaikh Muhammad Ali as Sais ,Guru Besar , Universitas Al-Azhar Mesir ,mengemukakan dalam tafsirnya yang menjadi buku wajib pada Fakultas Syariah al-Azhar , bahwa abu Hanifah mengajukan bahwa alasan ini lebih menyulitkan dibanding dengan tangan, khususnya bagi wanita-wanita miskin di pendesaan yang ketika itu sering kali berjalan tanpa alas kaki untuk memenuhi kebutuhan mereka .
Para pakar abu Yusuf bahkan berpendapat bahwa kedua tangan wanita bukan aurat, karena dia menilai bahwa mewajibkan untuk menutupnya menyulitkan wanita.
2.      Pendapat Ulama Kontemporer tentang Jilbab
Berbeda dengan Quraish Shihab yang mengemukakan pendapat yang berbeda dalam menafsirkan ayat-ayat tentang hijab. Quraish Shihab juga berpendapat bahwa Al-Quran tidak menentukan secara tegas dan rinci tentang batas-batas aurat, sehingga hal itu dianggap sebagai masalah khilafiyah.[9]
Tafsir Quraish Shihab tentang ayat-ayat hijab banyak dipengaruhi oleh pemikiran Muhammad Thahir bin Asyur dan Muhammad Said Al-Asymawi, dua tokoh berpikiran liberal asal Tunis dan Mesir, yang berpendapat bahwa jilbab adalah produk budaya Arab.Muhammad Thahir bin Asyur seorang ulama Besar Tunis yang juga di akui otoritasnya dalam bidang ilmu agama , menulis dalam Maqashid Al-Syariah sebagai berikut yang artinya:
“Kami percaya bahwa adat kebiasaan satu kaum tidak boleh dalam kedudukannya sebagai adat untuk di paksakan terhadap kaum lain atas nama agama, bahka tidak dapat dipaksakan pula terhadap kaum itu.”[10]
Bin Asyur kemudian memberikan beberapa contoh dari Al-Qur’an yaitu surat Al-Ahzab ayat 59 yang memerintahkan wanita muslimah untuk memakai jilbab. Dia menilai bahwa itu merupakan ajaran yang mempertimbangkan adat orang-orang arab . Sehingga bangsa-bangsa lain yang tidak mengunakan jilbab tidak memperoleh bagian (tidak berlaku bagi mereka) ketentuan ini.
Sedangkan Asymawi menulis sebuah buku yang berjudul Kritik Atas Jilbab, yang diterbitkan oleh Jaringan Islam Liberal dan The Asia Foundation, April 2003, editor Nong Darol Mahmada, seorang aktivis liberal. Pandangan yang mengatakan bahwa jilbab itu tidak wajib ditegaskan dalam buku ini.
Bahkan Asymawi dengan lantang berkata bahwa hadits-hadits yang menjadi rujukan tentang pewajiban jilbab atau hijab itu adalah hadis ahad yang tak bisa dijadikan landasan hukum tetap. Buku ini, secara blak-blakan, mengurai bahwa jilbab itu bukan kewajiban. Bahkan tradisi berjilbab di kalangan sahabat dan tabi’in, menurut Asymawi, lebih merupakan keharusan budaya daripada keharusan agama.
Menurut Asymawi, illat hukum pada ayat ini (Al-Ahzab ayat 59), atau tujuan dari penguluran jilbab adalah agar wanita-wanita merdeka dapat dikenal dan dibedakan dengan wanita-wanita yang berstatus hamba sahaya dan wanita-wanita yang tidak terhormat, supaya tidak terjadi kerancuan di antara mereka. Illat hukum pada ayat di atas, yaitu membedakan antara orang-orang merdeka dan hamba sahaya kini telah tiada, karena masa kini sudah tidak ada lagi hamba sahaya.
Dengan demikian, tidak ada lagi keharusan membedakan antara yang merdeka dengan yang berstatus budak, maka ketetapan hukum yang dimaksud menjadi batal dan tidak wajib diterapkan berdasar syariat agama. Demikian pendapat Muhammad Said Al-Asymawi sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab.[11]
Berpegang pada kedua pendapat di atas Quraish Shihab berpendapat bahwa jilbab merupakan adat istiadat dan produk budaya Arab. Dan menurutnya, dengan mengutip perkataan Muhammad Thahir bin Asyur, bahwa adat kebiasaan suatu kaum tidak boleh dalam kedudukannya sebagai adat untuk dipaksakan terhadap kaum lain atas nama agama, bahkan tidak dapat dipaksakan pula terhadap kaum itu.
 M. Quraish Shihab memiliki pandangan yang  menyatakan bahwa Allah tidak memerintahkan wanita muslimah memakai jilbab. Pendapatnya tersebut ialah sebagai berikut:“Ayat di atas tidak memerintahkan wanita muslimah memakai jilbab, karena agaknya ketika itu sebagian mereka telah memakainya, hanya saja cara memakainya belum mendukung apa yang dikehendaki ayat ini.
M. Qurais Shihab menyimpulkan. Memang, kita boleh berkata bahwa yang menutup seluruh badannya kecuali wajah dan (telapak) tangannya, menjalankan bunyi teks ayat itu, bahkan mungkin berlebih.
Namun dalam saat yang sama kita tidak wajar menyatakan terhadap mereka yang tidak memakai kerudung, atau yang menampakkan tangannya, bahwa mereka “secara pasti telah melanggar petunjuk agama.” Bukankah Al-Quran tidak menyebut batas aurat? Para ulama pun ketika membahasnya berbeda pendapat.
Secara garis besar, pendapat Quraish Shihab dapat disimpulkan dalam tiga hal. Pertama, menurutnya jilbab adalah masalah khilafiyah. Kedua, ia menyimpulkan bahwa ayat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang pakaian wanita mengandung aneka interpretasi dan bahwa Al-Qur’an tidak menyebut batas aurat.
Ketiga, ia memandang bahwa perintah jilbab itu bersifat anjuran dan bukan keharusan, serta lebih merupakan budaya lokal Arab daripada kewajiban agama. Oleh karena itu Quraish Shihab menyatakan bahwa tidak wajib wanita muslimah memakai jilbab.
C.     Gagasan dan Pemikiran Pendidikan Menurut Quraish Shihab
Menurut Quraish Shihab adapun tujuan pendidikan AL-Qur’an adalah membina manusia secara pribadi dan kelompok sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifahNya guna membangun dunia ini sesuai dengan konsep yang ditetapkan Allah. Atau dengan kata yang lebih singkat sering digunakan oleh Al-Qur’an, untuk bertakwa kepadaNya.[12]
Selanjutnya Quraish Shihab menjelaskan bahwa manusia yang dibina melalui pendidikan sebgaimana tersebut di atas, adalah makhluk yang memiliki unsur-nsur material(jasmani)dan immaterial(rohani) . Pembinaan akal menghasilkan ilmu. Pembinaan jiwanya menghasilkan kesuciaan dan etika,sedangkan pendidikan jasmaninya mengahasilkan keterampilan. Dengan pengabungan unsure-unsur tersebut, terciptalah makhluk dwidimensi dalam satu keseimbangan, dunia dan akhirat, ilmu dan iman. Itu sebabnya dalam pendidikan Islam dikenal istilah adab ad-din al-dun-ya.
 Tujuan pendidikan Islam menurut Quraish Shihab adalah tujuan yang bersifat universal, berlaku untuk seluruh bangsa dan umat di dunia. Hal ini sejalan dengan misi Al-Qur’an yang ditujukan untuk membawa rahmat bagi seluruh alam. Melalui kegiatan pendidikan , Al-Qur’an menginginkan terwujudnya manusia yang terbina seluruh potensi dirinya, fisik, jiwa dan akalnya sehingga terbentuk manusia yang seutuhnya. Manusia yang demikian  itulah yang dapat melaksanakan fungsinya sebagai khlaifah di muka bumi dalam rangka pengabdian kepada Tuhan.[13]
Quraish Shihab terlibat aktif dalam berbagai kegiatan yang berhubungan dengan pengembangan pendidikan, juga memiliki pemikiran yang berkaitan dengan pendidikan. Selain, berbicara tentang tujuan dan metode pendidikan, juga berbicara tentang sifat pendidikan.
Pemikiran Quraish Shihab dalam bidang pendidikan sangat dipengaruhi oleh keahliannya dalam bidang tafsir Al-Qur’an yang dipadukan dengan penguasaannya yang mendalam terhadap berbagai ilmu lainnya baik ilmu-ilmu keislaman maupun ilmu pengetahuan umum serta konteks masyarakat Indonesia. Dengan demikian, ia telah berhasil membumikan gagasan Al-Qur’an tentang pendidikan dalam arti yang sesungguhnya, yakni sesuai dengan alam pikiran masyarakat Indonesia.
Pemikiran dan gagasan Quraish Shihab tersebut telah pula menunjukkan dengan jelas bahwa di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang memiliki implikasi terhadap munculnya konsep pendidikan menurut Al-Qur’an yang pada gilirannya dapat menjadi salah satu bidang kajian yang cukup menarik. Upaya ini perlu dilakukan mengingat bahwa di dalam pemikiran Quraish Shihab tersebut mengisyaratkan perlunya studi secara lebih mendalam tentang pendidikan dalam perspektif 


BAB III
KESIMPULAN

Quraish Shihab adalah salah seorang mufassir yang terkenal di Indonesia, penafsirannya tentang ayat-ayat hijab sangat berbeda dengan beberapa Ulama Kontemporer lainnya sehingga memunculkan berbagai kritikan terhadapnya.
Tafsir Quraish Shihab tentang ayat-ayat hijab banyak dipengaruhi oleh pemikiran Muhammad Thahir bin Asyur dan Muhammad Said Al-Asymawi, dua tokoh berpikiran liberal asal Tunis dan Mesir, yang berpendapat bahwa jilbab adalah produk budaya Arab.
Berpijak dari itu semua Quraish Shihab menyatakan bahwa tidak wajib memakai jilbab bagi wanita muslimah. Jilbab merupakan suatu adat arab dan bangsa lain tidak wajib mengikutinya dalam masalah menutup aurat.
Kemudian Quraish Shihab juga menyatakan bahwa masalah jilbab adalah masalah khilafiyah.Di dalam agama islam tidak dijelaskan secara rinci batasan menutup aurat menurut Quraish Shihab.
Menurut Quraish Shihab adapun tujuan pendidikan AL-Qur’an adalah membina manusia secara pribadi dan kelompok sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifahNya guna membangun dunia ini sesuai dengan konsep yang ditetapkan Allah. Atau dengan kata yang lebih singkat sering digunakan oleh Al-Qur’an, untuk bertakwa kepadaNya
Penulis disini juga tidak sependapat dengan pemikiran Quraish Shihab tersebut. Yang menyatakan bahwa tidak wajib memakai jilbab bagi wanita muslimah. Penulis mengikuti anjuran Ulama Kontemporer yang menyatakan bahwa wajib memakai jilbab sebagai identitas wanita muslimah.




[1]Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan)
[2] Abudin Nata, Tokoh-tokoh pembaharuan Islam di Indonesia,(Jakarta : PT Raja Grafindo)
[3] M.Quraish Syihab,Lentera hati,Cet I(Bandung:Mizan)hlm 5
[4] Musyrifah Sunanto,Sejarah Peradaban Islam Indonesia,Ed. 1 (Jakarta : PT Raja Grafindo),hlm 289
[5] M.Quraish Shihab,Lentera Al-Qur’an,Cet I(Bandung:Mizan)hlm 5
[6] Shihab,Quraish ,Wawasan Al-Qur’an( Bandung : Mizan) hal 178
[7] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan (Bandung : PT Sigma Excamedia)hal 418
[8] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan……hal  350
[10] Shihab,Quraish ,Wawasan Al-Qur’an………….. hal 178
               [12] Abuddin Nata ,Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia,( Jakarta: PT Raja Grafindo) hlm 367
[13] Abuddin Nata ,Tokoh-tokoh Pembaharuan…………….hlm 367